REPUBLIKA.CO.ID, Dunia perwalian memang masih menyisakan banyak misteri yang tidak terungkap banyak orang. Di antara persoalan krusial dalam topik ini adalah sebuah pertanyaan besar, yaitu apakah status kewalian seseorang itu bisa diidentifikasi?
Menjawab pertanyaan ini, tokoh ulama Nusantara yang hidup ada abad ke-19, yaitu Syekh Mahfuz at-Tarmasi, mengarang sebuah kitab yang cukup fenomenal dengan pembahasan khusus seputar wali, yakni berjudul Bughyat al-Atqiya’ Fi al-Bahtsi ‘an Karamat al-Awliya’.
At-Tarmasi mengungkapkan jawaban apakah status kewalian seseorang itu bisa dan mesti diketahui oleh orang lain. Di sini ada perbedaan pendapat.
Pendapat yang pertama mengatakan bahwa status tersebut tidak bisa diketahui orang lain selain dirinya dan tidak boleh diumbar oleh mereka yang menyandang gelar itu.
Seorang wali akan memandang dirinya sebagai pribadi biasa. Karamah yang muncul dari dirinya, akan dianggap sebagai anugerah yang bisa melenakan, ia akan senantiasi takut kepada Sang Pemberi karamah itu.
Pendapat kedua, sejalan dengan pandangan Syekh al-Qusyairi dan opsi inilah yang diamini at-Tarmasi, seseorang bisa dan boleh mengindentifikasi sosok yang memang memenuhi kriteria disebut wali. Demikian pula, bisa saja, identifikasi itu tak bisa dilakukan sebagian kalangan.
Dalam kasus misalnya, seandainya status kewalian seseorang terungkap oleh sejumlah kalangan, maka sejatinya itu adalah bagian dari karamah yang dimiliki. Meski sebanarnya, karamah tidak selamanya harus berwujud demikian, bisa berbeda-beda bentuknya.
Bahkan, sekalipun karamah itu tak tampak selama berada di dunia, hal itu, tak mengurangi derajat dan statusnya sebagai wali. Berbeda dengan mukjizat para nabi yang wajib muncul sebagai penguat dan justifikasi kebenaran risalah yang disampaikan.
Karamah adalah peristiwa di luar kebiasaan yang muncul dalam diri seorang hamba saleh tanpa disertai misi kenabian. Lalu bagaimana dengan keistimewaan seseorang, padahal ia bukan orang saleh dan bukan wali atau nabi? Keistimewaan itu, bisa dikategorikan bentuk ‘peninabooan’ (istidraj).
Mengutip pernyataan as-Subuki dalam at-Thabaqat al-Kubra, at-Tarmasi menulis, karamah dan mukasyafah seorang wali, bukan sebuah tipuan, kecuali bagi mereka yang memang orientasi dan tujuannya mencari hal-hal aneh saja. Di satu sisi, ada kalangan yang terlalu mengagung-agungkan jenis karamah, tapi di sisi lain ada yang justru meremehkan dan menegasikan keberadaan karamah.
Abu Turab atau an-Nakhsyabi menegaskan, penegasian karamah (yang telah terverifikasi dari wali) adalah bentuk merendahkan anugerah Tuhan. Karamah bukan tujuan, tetapi yang terpenting adalah proses yang ada di balik karamah itu, yaitu sebuah penghambaan yang tulus, konsistensi, dan totalitas ketakwaan.
Barang siapa beribadah dan hanya mencari karamah, niscaya ia tak akan pernah mendapatkannya, dan siapa pun yang puas dengan karamah yang dianugerahkan Sang Khalik, sungguh ia akan tergelincir dalam kebinasaan.