REPUBLIKA.CO.ID, LUXEMBOURG -- Pengadilan tinggi Uni Eropa mengizinkan perusahaan untuk melarang perempuan menggunakan simbol agama seperti kerudung. European Court of Justice (ECJ) Selasa (14/3), memutuskan untuk dua kasus di Prancis dan Belgia.
Satu kasus melibatkan insinyur perangkat lunak yang mengenakan kerudung di Prancis. Satu lagi melibatkan resepsionis berkerudung di Belgia. Pengadilan menentukan aturan internal perusahaan yang melarang penggunaan simbol keagamaan bukan diskriminasi langsung dalam konstitusi.
Pengadilan merujuk pada hukum anti-diskriminasi atau perlakukan setara Directive 2000/78. Tidak hanya simbol keagamaan, perusahaan swasta juga mengizinkan larangan simbol politik dan filosofi.
Directive 2000/78 melarang setiap diskriminasi langsung maupun tidak langsung untuk memastikan partisipasi penuh warga Uni Eropa dalam kehidupan ekonomi. Hukum ini berasal dari Piagam Hak Fundamental Uni Eropa yang diadopsi pada tahun 2000.
Hukum yang lebih tua sejak 1950, Hak Fundamental dan Kebebasan juga tetap berlaku. Pasal 9 dari hukum ini menyebut setiap orang memiliki hak untuk menjalankan agama atau keyakinannya, dalam ibadah, mengajar, praktek dan ketaatan.
Pasal 10 dari Directive 2000/78 juga menyebut hak praktik keagamaan. Namun pasal 16 mengatakan perusahaan memiliki kebebasan untuk menerapkan bisnis sesuai dengan hukum Uni dan hukum nasional yang berlaku.
Dua perempuan dalam kasus menolak melepaskan kerudungnya di lingkungan pekerjaan. Kasus pertama melibatkan Samira Achbita yang bekerja sebagai resepsionis di G4S Secure Solution. Perusahaan ini melarang penggunaan simbol politik dan agama yang jelas terlihat.
Sejak tahun lalu, advokat pengadilan, Juliane Kokott telah merekomendasikan izin bagi perusahaan swasta memberlakukan larangan. Selama larangan ini berlaku secara umum tidak hanya simbol agama saja.
"Diskriminasi menyeluruh bisa ditetapkan untuk menguatkan kebijakan netralitas keagamaan dan ideologi," kata Kokott dilansir Deutsche Welle. Perusahaan memecat Samira pada 2006. Namun ia mulai mengajukan tuntutan pada pengadilan Belgia terkait hal ini.
Ia didukung sejak 2009 oleh Belgium Center for Equal Opportunities. Selama perjalanannya, dua pengadilan buruh Belgia tidak meloloskan klaimnya yang menyebut pemecatan tidak sesuai hukum.
Pada 2015, Pengadilan Kasasi Belgia memproses tuntutan Samira dan mengajukannya ke ECJ. Satu kasus lagi melibatkan seorang konsultan IT Prancis, Asma Bougnaoui yang diminta melepas kerudung karena kliennya keberatan.
Asma dipecat pada 2009 karena menggunakan kerudung saat bekerja bersama klien dari Toulouse. Advokat Prancis, Eleonore Sharpston mengatakan perusahaan seharusnya memberikan Asma hak sebagai karyawan individu untuk menjalankan agamanya.
Sharpston menyimpulkan, kasus Asma mengandung diskriminasi terhadap kepercayaan. "Buat saya ini berbahaya jika mengecualikan karyawan karena argumen kostumer tidak suka," kata dia.
Advokat lain menyarankan putusan yang sama dengan kasus di Belgia. "Larangan ini diskriminasi jika hanya berlaku untuk kerudung Islam," katanya.
Pada akhirnya, Selasa (14/3), pengadilan ECJ memutuskan larangan perusahaan bukan diskriminasi karena berlaku pada simbol lainnya. Putusan ECJ ini keluar sehari sebelum pemilu parlemen Belanda yang didominasi oleh isu imigrasi dan integrasi.