Kamis 26 Jan 2017 09:24 WIB

Islamofobia, Bahasa NKRI: Indonesia Bukan Arab?

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:
Rapat BPUPKI

Pikiran soal anti yang berbau asing dan juga ‘anti-Arabisasi’ memang bukan hal baru. Dan khusus soal anti-Arab sentimen itu makin bergolak karena dibumbui rasa dendam 'Islam Fobia’ yang telah berkobar dan tertanam begitu dalam semenjak era penjajahan Belanda.

Khusus untuk soal ‘anti-bahasa Arab’ karena berkonotasi dengan syariah Islam pun sudah lama ada dalam kancah politik. Bahkan, dalam sidang perumusan dasar negara di BPUPKI situasi ini sempat mengemuka. Ini terjadi pada ujung sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Deplu)  di bilangan Pejambon Jakarta.

Pada sidang ini terjadi perdebatan panas soal perlu tidaknya syariah Islam dalam kontitusi. Saat itu kelompok Islam – yang diwakili Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, KH Sanusi, Agus Salim – risih dengan konsep Pancasila ala Sukarno yang bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan Eka Sila. Konsep ini oleh kelompok Islam mengabaikan ‘syariah Islam’.

Sidang hampir mengalami jalan buntu. Kelompok Islam terus pada posisinya, kelompok Nasionalis (juga termasuk non Islam) bergeming pada sikapnya. Saking panasnya sidang sudah mulai saling potong bahkan gebrak meja. Ki Bagus pun mulai geram dan ekspresi ini diwujudkan dengan mengawali bacaan tawa’ud (minta perlindungan terhadap syetan terkutuk) dalam awal pembicaraan. Waktu itu akan ada ‘stem’ (pemungutan suara) dalam putusan posisi aturan agama (Islam) dan Presiden beragama Islam dalam konsitusi negara.

Namun, usulan itu tetap mentah. Kompromi tak kunjung didapat. Saat itulah KH Abdul Kahar Moezakir angkat bicara. Dia mengomentari debat antara Soekarno dan KH Masykoer seperti terekam pada Risalah Sidang BPUPKI, terbitan Sekretariat Negara 1998).

Anggota Moezakir: Saya mau mengusulkan kompromi, Paduka Tuan Ketua, supaya tuan-tuan anggota Tyoosakai senang hatinya, yaitu kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar itu yang menyebut Allah atau dengan agama Islam, atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu.

Moezakir tampak geram bukan kepalang. Ketika mengakhiri kalimatnya ia pun dilakukan sembari memukul meja.

Setelah dia angkat bicara debat berlangsung makin seru. Kesepakatan tak kunjung didapat. Suasana dead lock segera terbayang. Ki Bagus kemudian bicara dengan cara mengawali pakai kata taawud itu. Di saat krisis kemudian datang usulan dari KH Sanoesi agar rapat ditunda supaya suasana bisa menjadi tenang dan semua pihak dapat berfikir lebih jernih.

Sang Ketua BPUPKI Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat langsung menerima usulan KH Sanoesi itu. Apalagi, kebetulan waktu rapat sudah mulai beranjak memasuki tengah malam pukul 23.25 waktu Jepang atau pukul 21.55 WIB.

Sesuai rapat ditunda selama semalam suntuk Sukarno bergerilya melakukan lobby baik kepada kubu nasionalis dan Islam. Hasilnya itu adalah munculnya Piagam Jakarta yang disebut Mr Muh Yamin sebagai general agreement dari seluruh komponen bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement