Kamis 29 Dec 2016 16:17 WIB

Pemuda Muhammadiyah: Koreksi Konstruktif Jangan Diterjemahkan Kebencian

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: dok.Istimewa
Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, meminta koreksi proporsional dan konstruktif kepada pemerintah tidak disalahartikan. Pasalnya, koreksi bertujuan membuat kualitas pemerintah menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.

"Kritik yang proporsional jangan diterjemahkan sebagai ketidaksukaan atau kebencian terhadap pemerintah. Justru, koreksi konstruktif itu mendorong pemerintah menjadi lebih baik," kata Dahnil saat memberi sambutan di Catatan Akhir Tahun Membela Kaum Mustadhafin, Kamis (29/12).

Organisanya,lanjut Dahnil, termasuk kelompok yang sudah bersepakat bahwa demokrasi harus dapat dilakukan sesuai jadwal yang telah ditetapkan, sehingga sangat jauh dari usaha-usaha makar. Tapi, dia menegaskan, merupakan tugas Pemuda Muhammadiyah memastikan pemerintah tetap berpihak kepada rakyat, jangan sampai tidak ada keberpihakan kepada rakyat.

Danhil mengatakan, penggusuran di Jakarta menjadi salah satu pembuktian, jika korporasi sesungguhnya merupakan penguasa yang sesungguhnya. Hal itu meyakinkan fakta kalau korporasi dan kapitalisme besar, telah bertranformasi sebagai penguasa yang sesungguhnya. Termasuk, yang dapat dengan jelas dilihat dari proyek-proyek reklamasi yang terjadi.

Dia melihat, integritas di Indonesia semakin hilang, tak ada keberpihakan orang miskin, penindasan terhadap rakyat miskin marak, dan penggusuran di Jakarta yang jadi fenomena telah membuktikan. Selain itu, pemaksaan pembangunan pabrik semen di Rembang Jawa Tengah menjadi salah satu bukti kuat, jika korporasi merupakan penguasa sebenarnya.

"Pembuat kebijakan seperi gubernur, bupati, wali kota, bahkan presiden, hanya boneka yang digunakan untuk melegalisasi tindakan mereka," ujar Dahnil.

Untuk itu, Danhil mengingatkan, kemunduran negara dan kurangnya keberhasilan kelomok agama menyampaikan dakwah, dikarenakan uang-isme sudah merajalel. Menurutnya, ketika uang jadi Tuhan bagi sebagian politisi, pembuat kebijakan, akademisi dan aktivis, maka Indonesia tidak akan lagi mampu melawan arus kemunduran dan ini yang harus jadi catatan luar biasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement