REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengalami haid bagi perempuan merupakan buah simalakama. Banyak aktivitas peribadatan yang terhenti saat masuk siklus menstruasi.
Bukan hanya tak bisa shalat dan puasa, kaum ibu yang biasanya rajin mengikuti taklim majelis ilmu di masjid pun terhalang. Mereka takut berdosa jika memasuki masjid.
Haid merupakan peristiwa fisiologis pada wanita dalam masa reproduksi dengan keluarnya darah dari rahim sebagai akibat pelepasan selaput lendir rahim. Menstruasi terjadi rata-rata enam hari dalam sebulan, bergantung kondisi fisik perempuan tersebut.
Allah SWT menjelaskan tentang haid di dalam Alquran. "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'haid itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (QS al-Baqarah [2]: 222).
Lantas, apakah hukum perempuan yang mengalami haid kemudian masuk ke masjid?
Padahal, banyak sekali manfaat yang bisa mereka dapatkan saat mengikuti ceramah keagamaan atau pengajian di masjid. Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof Syamsul Anwar, mengatakan, para fukaha berbeda pendapat soal hukum ini.
Menurut dia, pendapat yang melarang mendasarkan diri kepada beberapa alasan. Pertama, sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya, masjid tidak halal untuk orang junub dan bagi wanita haid." (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi dan at-Tabarani).
Kedua, "Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menyertakan wanita haid dan wanita pingitan pada dua hari raya, agar meraka menyaksikan kumpulan dan dakwah kaum Muslimin untuk mereka. Adapun wanita haid supaya menjauh dari tempat shalat..." (HR al-Bukhari).
Ketiga, mengiaskan (menganalogikan) wanita haid dengan orang junub. Alquran memang melarang orang junub berada dalam masjid kecuali untuk lewat saja. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun."
Sementara, Syamsul menjelaskan, para ulama yang membolehkan wanita haid masuk masjid mengemukakan bahwa sabda Nabi SAW riwayat Ibn Majah, al-Baihaqi, dan at-Tabarani yang dikutip di atas berkualitas dhaif. Di dalam sanad hadis itu terdapat dua rawi, yaitu al-Khattab al-Hajari dan Mahduj az-Zuhli yang dinyatakan dhaif.
Karena itu, bagi mereka, hadis tersebut tidak dapat menjadi dasar hukum pelarangan wanita haid masuk masjid. Alasan kedua, perintah Nabi SAW supaya wanita haid dan pingitan ikut keluar pada shalat Id, tetapi melarang wanita haid mendekati tempat shalat, maksudnya adalah melarang wanita haid ikut masuk dalam shaf dan ikut shalat, bukan melarang masuk masjid. Karena itu, hadis ini juga tidak merupakan larangan wanita haid masuk masjid.
Alasan ketiga adalah bahwa pengiasan wanita haid kepada orang junub dipandang tidak tepat. Sebagian ulama berpendapat keduanya berbeda. Orang junub bisa segera mandi, sementara perempuan haid tidak bisa segera bersuci karena haidnya adalah keadaan alamiah dan ia tidak dapat segera bersuci. Karena itu, surah an-Nisa ayat 43 intinya memerintahkan orang junub agar segera bersuci.
Alasan keempat yaitu, Nabi SAW menyuruh Aisyah ketika haid pada musim haji supaya melakukan semua manasik haji yang dilakukan oleh orang yang sedang haji, kecuali satu, yaitu tawaf. Logikanya, orang sedang haji tentu keluar masuk masjid maka Aisyah yang haid juga boleh keluar masuk masjid. Yang tidak boleh dilakukannya adalah tawaf, karena tawaf dalam suatu hadis dikatakan sama dengan shalat dan wanita haid dilarang mengerjakan shalat.
Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Kasyifatus Saja pun membolehkan wanita haid untuk menghadiri majelis ilmu dalam rangka belajar agama. "Tiada keharaman bagi wanita yang tengah haid atau yang tengah menanti habisnya masa nifas untuk menghadiri tempat hadir (majelis taklim)."
Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) pun berpendapat, wanita haid yang hendak belajar agama di masjid diperbolehkan selama menjaga kebersihan masjid. Alhasil, fukaha yang membolehkan wanita haid masuk masjid melihat tidak ada dalil tegas yang menjadi dasar pelarangan tersebut. Yang penting, dalam kaitan ini adalah agar jangan masjid ternodai oleh darah haid. Wallahu a'lam.