REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof H Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih akrab disapa HAMKA merupakan sosok ulama, sastrawan, dan intelektual sekaligus. Pahlawan nasional kelahiran Nagari Sungai Batang, Sumatra Barat, 1908 ini menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama.
Hamka memiliki pandangan yang jelas mengenai hubungan Islam dan manusia. Seperti disarikan dari buku Etika Hamka, tulisan Dr Abd Haris (2010), Hamka membuat konsep struktur ajaran Islam. Akhlak menempati urutan kedua setelah ajaran inti, yakni Tauhid. Artinya, akhlak Islami seharusnya dijiwai oleh makna Laa Ilaaha Illa Allah.
Sementara itu, syariah menempati urutan ketiga dari inti Tauhid demikian. Oleh karena itu, syariah dalam Islam harus dijiwai Tauhid sekaligus akhlak. Adapun masalah-masalah kehidupan—misalnya kebebasan dan sebagainya—harus terikat atau dijiwai syariat Islam.
Dengan demikian, menurut pemikiran Hamka, perilaku umat Islam hendaknya sesuai syariat Islam, yang berintikan akhlak dan berpusat pada Tauhid. Hamka juga memandang manusia bukan hanya soal jasmani. Bagi Hamka, rohani manusia berasal dari pancaran cahaya Allah.
Kendati demikian, jiwa atau roh tersebut bukanlah wujud Tuhan dan bukan pula sebagian dari Zat Allah. Rohani manusia merupakan rahasia Tuhan. Itulah yang menjadi penggerak orang Islam untuk selalu berusaha berakhlak Islami, untuk kemudian ia wafat dan kembali kepada Allah kelak.
“Pangkalan tempat bertolak seketika akan menempuh jalan ini, ialah bahwasannya jiwa manusia itu adalah suatu percikan dari cahaya Ilahi. Di dalamnya, tersimpan suatu tenaga amat besar. Dengan tenaga itulah manusia sanggup mencari ilmu,” tulis Hamka dalam bukunya, Pandangan Hidup Muslim, seperti dikutip Abd Haris (2010, hlm.74).