REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kegirangan muncul saat seseorang memperoleh hadiah. Banyak jalan hadiah itu sampai kepada seseorang.
Mungkin saja sahabat atau keluarganya memberikan kepada orang tersebut atau ia meraihnya dari sebuah undian yang diikuti. Ia membeli sebuah produk dengan harga tertentu, diberi kupon atau sejenisnya, kemudian diundi.
Dalam industri perbankan, nasabah dijanjikan hadiah tertentu jika saldo tabungan mencapai angka yang telah ditetapkan. Bisa juga dengan memperhitungkan kelipatan saldo tertentu. Nama nasabah itu diundi untuk mendapatkan salah satu dari sejumlah hadiah yang disediakan.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi memberikan penjelasan mengenai hadiah dan undian ini melalui bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer. Menurut dia, hal yang sudah jelas mengenai hal ini adalah hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak pada peningkatan ilmu pengetahuan dan amal saleh.
Misalnya, hadiah bagi pemenang perlombaan menghafal Alquran, juga untuk mereka yang menorehkan prestasi dalam kajian ilmu pengetahuan. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ahmad dari Ibnu Umar, mengungkapkan, Nabi Muhammad menggelar balapan kuda. Beliau memberikan hadiah kepada pemenangnya.
Di waktu lain, Rasulullah menyerahkan hadiah kepada para sahabatnya yang ia anggap sukses dalam meningkatkan pelayanan terhadap umat Islam. Mereka yang diganjar hadiah adalah yang memenuhi syarat. Biasanya, sebuah panitia dibentuk dengan tujuan menilai apakah seorang sahabat layak mendapatkan hadiah.
Ihwal hadiah melalui undian, al-Qaradhawi mengungkapkan ada beberapa jenis dengan hukum berbeda. Menurut dia, bentuk yang tak diragukan keharamannya adalah seseorang mendapatkan hadiah melalui undian, di mana undian adalah bagian inti dari usahanya. Ia mendapatkan kupon misalnya, bukan karena syarat membeli produk dalam harga tertentu.
Artinya, tujuan orang itu adalah membeli kupon guna meraih hadiah. Hal semacam ini diharamkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak,” kata al-Qaradhawi. Ia menganggap hal itu sebagai sebuah perjudian yang dilarang Islam. Sebab, perjudian ini akan membiasakan manusia mencari keuntungan tanpa usaha.
Hal itu diharamkan, meski hasil undian tersebut digunakan untuk mendukung kebaikan. Islam menolak perbuatan baik yang ditempuh dengan perantara perbuatan batil. Islam mengajak manusia mencapai sebuah tujuan yang mulia dengan cara-cara yang juga menjunjung kemuliaan.
Dalam pandangan al-Qaradhawi, bentuk hadiah yang diperselisihkan hukumnya adalah pemberian kupon atau sejenisnya yang diberikan kepada seseorang karena membeli produk di sebuah toko. Mungkin, juga membeli bensin di stasiun pengisian bensin dalam jumlah yang ditetapkan kemudian mendapatkan kupon untuk diundi.
Menurut dia, sebagian besar ulama memperbolehkan hal itu, sedangkan ia semula menyatakan hal itu makruh, meski kemudian ia mengatakan haram. Alasan pertama, transaksi tersebut memang bukan perjudian, tetapi mengandung motif perjudian, yaitu menggantungkan diri pada nasib bukan pada usaha yang merupakan sunatullah.
Seseorang hanya menunggu hadiah dari langit. Kondisi seperti itu tak sesuai dengan jiwa Islam yang selalu mendorong umatnya bekerja dengan tangannya sendiri demi hasil sebuah hasil yang diharapkan, sedangkan alasan kedua, kata al-Qaradhawi, kegiatan itu melahirkan egoisme.
Mereka yang mempunyai produk, jelas dia, terdorong menarik konsumen dengan segala propaganda dan iklan, tak memedulikan hak orang lain. Ia menambahkan, para pedagang pada masa terdahulu tak akan melakukan hal itu. Saat toko mereka penuh pelanggan, misalnya, mereka juga menganjurkan pelanggannya berbelanja di toko tetangganya.
Bahkan, mereka menutup tokonya setelah hasil transaksi perdagangannya dianggap telah mencukupi kebutuhannya. Alasan ketiga, sebenarnya hadiah yang diberikan diambil dari uang konsumen sendiri. Al-Qaradhawi mencontohkan, sebuah produk mestinya bisa dijual dengan harga 90, namun karena ada hadiah harga bertambah menjadi 100.
Alasan selanjutnya, ia menilai bahwa keberadaan hadiah membuat konsumen bersifat boros karena menggiring mereka membeli barang melebihi kebutuhannya, sedangkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Fatwa-Fatwa Tarjih, tak mempermasalahkan hadiah melalui undian. Itu tak dilarang agama.
Majelis ini berargumen, undian diberikan pemilik toko atau produk untuk mendapatkan hadiah dengan jumlah terbatas, sedangkan jumlah pembeli lebih banyak dibandingkan hadiah yang ada. Demikian pula dengan hadiah dari bank yang dilakukan dengan cara mengundi. Sama saja dengan pemberian yang diperbolehkan Islam.”
Cara pembagian hadiah oleh bank melalui undian juga karena pertimbangan bahwa hadiah itu jumlahnya sedikit sehingga tak mungkin seluruh penabung mendapatkan hadiah dari bank tersebut.