Kamis 06 Oct 2016 20:14 WIB

Sikapi Kewajiban Sertifikasi Halal, ini Masukan Produsen

Pengunjung melihat koleksi kosmetik saat International Halal Lifestyle Expo and Conference di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (6\10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pengunjung melihat koleksi kosmetik saat International Halal Lifestyle Expo and Conference di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (6\10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kewajiban sertifikat halal oleh pemerintah dinilai dapat membebankan perusahaan berskala internasional.

Menurut CEO PT Paragon Technology and Innovation, perusahaan yang memproduksi kosmetik Wardah, Nurhayati Subakat, ini akan menyulitkan karena harus mengurus sertifikat halal lantaran bahan baku berasal dari distributor global. 

“Selain tentunya juga menambah biaya sertifikasi," kata Nurhayati melalui keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (6/10).

Ia mengatakan kewajiban sertifikasi halal mengharuskan pengusaha melakukan uji laboratorium atas bahan baku yang digunakan untuk membuat produk, baik kosmetik, maupun makanan dan minuman.

Senada dengan itu, Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAK) sekaligus Presiden Direktur PT Mustika Ratu Putri K. Wardani mengatakan sertifikasi halal sebaiknya bukan kewajiban, tetapi bersifat sukarela "voluntary".

Para pengusaha menganggap rancangan peraturan pemerintah atau RPP yang merupakan turunan UU No. 34/2014 tentang Jaminan Produk Halal tersebut dapat membuat bisnis tersendat.

Beberapa poin penting calon beleid yang diamanatkan pada UU paling lambat keluar pada 17 Oktober 2016 tersebut berisi: 

"Semua produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia, wajib bersertifikat halal. Jika tidak, produk itu wajib ditarik peredarannya."

Menanggapi hal tersebut, Direktur Halal Kementerian Agama Siti Aminah menjelaskan pemerintah tidak akan mewajibkan semua produk halal sekaligus di tahun ini.

Aminah mengatakan wajib halal akan dilakukan secara bertahap hingga  2019. Tahun pertama di 2016, wajib halal untuk produk makanan dan minuman, tahun kedua di 2017 untuk produk kosmetik. “Tahun ketiga obat-obatan dan alat kesehatan," ujar Siti.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardhana menjelaskan ada empat hal yang menurut pihaknya bermasalah.

Pertama, Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) mengatur terlalu luas atas subyek yang disebut halal. 

Kedua, APINDO menilai Undang-Undang JPH melihat masyarakat Indonesia masih terlalu bodoh sehingga tidak bisa membedakan mana yang halal dan yang tidak. 

Ketiga, Undang-Undang JPH ini membuat seolah-olah Indonesia tidak membutuhkan negara lain, di mana 60 sampai 90 persen barang yang beredar di Indonesia harus disertifikasi halal. 

Keempat, Undang-Undang JPH ini, menurut dia, akan membuat matinya investasi di Indonesia mengingat akankah para negara pengeskpor mau mensertifikasi produknya yang dipasarkan di Indonesia.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement