Sabtu 17 Sep 2016 20:09 WIB

Berhaji dari Hasil Korupsi, Apa Hukumnya?

Rep: Achmad Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi korupsi.
Foto: Nationofchange.org
Ilustrasi korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji adalah rukun Islam penutup bagi setiap Muslim yang mampu. Bukan sekadar perjalanan religi, apalagi penyematan status sosial, haji disyariatkan agar jamaah menyaksikan berbagai manfaat. Dengan haji, umat Islam diharapkan dapat menjadi orang-orang yang bersyukur. Saat Allah memberikan rezeki, mereka pun menyebut nama-Nya.

Kewajiban berhaji bagi umat Islam tertuang baik dalam Alquran maupun hadis. "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali Imran[3]: 97).

Rasulullah SAW mewajibkan umatnya yang mampu untuk berhaji minimal sekali seumur hidup. Rasulullah menyeru kaum Muslimin untuk bersegera berangkat ke Tanah Suci karena tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi padanya. Nabi juga pernah bersabda tentang manfaat haji bagi manusia di dunia dan akhirat.

"Selalu tunaikanlah haji dan umrah karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa sebagaimana api menghilangkan kotoran besi, emas, dan perak. Dan, tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga. (HR Tirmidzi).

Dari lima rukun Islam, hanya haji yang memiliki syarat jika mampu. Perjalanan haji ke Masjidil Haram, Arab Saudi, memang mengharuskan umat Islam memiliki dana cukup besar. Di Indonesia saja, Kementerian Agama menetapkan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2016 senilai rata-rata Rp 35 juta.

Karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi, Rasulullah mengancam orang yang tidak melaksanakan haji akan mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani dengan diawali kalimat syarat. "Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa membawanya ke Baitullah, tetapi tidak melaksanakan haji, maka hendaknya ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani."

Bagaimana berhaji dengan harta hasil korupsi? Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah[2]: 188).

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan korupsi sebagai risywah. Pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidal benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hal. Pemberi disebut rasyi, sedangkan penerima disebut murtasy. Sementara, penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy. Karena itu, MUI memberi fatwa bahwa hukum korupsi adalah haram. Semua lapisan masyarakat pun berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktik tersebut.

Dalam fatwanya, Baitul Masail Nahdlatul Ulama (NU) menukil bahwa kalangan Hanafi, Maliki, dan Syafi'i membedakan haji dengan harta yang haram, termasuk korupsi. Haji sebagai ibadah yang diatur dalam agama tidak berkaitan dengan harta yang haram.

Sama halnya dengan orang sembahyang di tanah rampasan (hasil kezaliman). Sembahyangnya sendiri itu tetap sah. Tetapi, menempati tanah yang diharamkan itu yang dilarang oleh agama. Karenanya, ibadah haji atau shalat tidak bisa disifatkan haram. Meskipun gugur kewajiban ibadah itu, manasik haji tidak diterima dan mendapatkan pahala dari Allah.

Nasib manasik hajinya sama seperti orang sembahyang tetapi riya atau berpuasa tetapi ghibah. Semuanya tidak diganjar pahala. Demikian argumentasi yang diajukan Ibnu Abidin dalam Haysiyah Raddul Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 2000 M/1421 H, Juz 2 halaman 456.

Sementara, Mazhab Hanbali sepakat dengan jumhur ulama perihal penerimaan dan pahala. Mereka yang menunaikan ibadah haji dengan harta haram tidak menerima pahala. Mazhab Hanbali puni menyatakan bahwa haji yang dibiayai dengan harta haram tidak sah. Karenanya, mereka harus mengulang hajinya pada tahun depan karena hajinya tahun ini tidak sah. Karena, seorang Muslim tidak boleh mencampurkan antara ibadah dan hal-hal batil.

Baitul Masail NU pun berpendapat, Mazhab Hanbali perlu dipelajari lebih lanjut dari sisi moralitas ibadah. Semangat apa yang difatwakan Imam Hanbali bisa jadi mengantisipasi kemungkinan orang melakukan pencucian uang dengan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, haji bukan hanya dipandang secara rangkaian upacara formal. Tetapi, kebersihan harta sebagai penggerak manasik haji itu sendiri mesti dipastikan. Bukan asal berangkat haji.

"Pandangan Mazhab Hanbali bisa secara moral menghentikan kezaliman, suap, kecurangan, korupsi, atau kejahatan umat Islam dalam menjalankan praktik bisnis, mengemban jabatan publik, atau menjalani kesehariannya sebagai pegawai negeri sipil, dan profesi lainnya."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement