REPUBLIKA.CO.ID, Memvonis kafir (takfir) adalah persoalan paling krusial dalam Islam. Dalam hadisnya Rasulullah SAW mengingatkan, “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, 'wahai kafir', pasti salah satu dari keduanya akan mendapatkan kekafiran itu.” (HR Bukari Muslim). Artinya, jika vonis kafir tersebut tidak terbukti, kekafiran bisa kembali kepada orang yang mengatakannya.
Para ulama mengelompokkan jenis-jenis kafir dalam empat kategori. Pertama, kafir ingkar, yaitu mengingkari tauhid dengan hati dan lisannya. Kedua, kafir juhud (penolakan), yaitu mengingkari tauhid dengan lisan saja, tetapi hatinya masih beriman. Ketiga, kafir mu'anid, yaitu mereka yang hati dan lisannya sudah mengakui Islam, tetapi masih menolak beriman. Keempat, kafir nifaq, yaitu mengaku beriman, padahal hatinya mengingkari.
Untuk mengetahui seseorang telah kafir atau tidak, perlu sebuah pembuktian yang yakin. Jadi, sebenarnya memvonis kafir merupakan perbuatan yang dilarang bagi mereka yang awam dalam agama. Apalagi, dilakukan oleh orang per orang atau lembaga yang tidak mempunyai kredibilitas dan kompetensi dalam hal ini. Para ulama menegaskan, vonis kafir harusnya keluar dari lisan para ulama yang diberikan otorisasi dari umat Islam dan negara.
Maraknya fenomena takfir ini menjadi salah satu bahasan paling menarik dalam gelaran Istima' MUI se-Indonesia ke-5 yang digelar di Tegal beberapa waktu lalu. Pembahasannya terkait dua jenis sikap ekstrem yang berkembang di masyarakat. Pertama, tafrith fit takfir (menggampangkan atau meniadakan vonis kafir). Sedangkan yang kedua, ifrath fit takfir (gampang mengafirkan orang). Para ulama mengimbau agar umat Islam tidak terjebak dengan dua model pemikiran ekstrem tersebut. Umat Islam diminta memilih pendapat ulama yang moderat (wasathan).
Para ulama menegaskan, vonis kafir bisa ditetapkan setelah benar-benar memenuhi persyaratannya. Seperti, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran tersebut dilakukan seorang yang mukalaf (akil baligh dan berakal). Atau seorang mukalaf melakukan perbuatan yang menyebabkan kekafiran yang benar dilakukan tanpa adanya paksaan. Ucapan atau perbuatan yang menjurus pada kekafiran tersebut juga bukan disebabkan ketidakstabilan secara emosi atau fikiran. Atau penyebab kekafiran tersebut bukan karena kebodohannya karena belum sampai padanya hujah dan dalil-dalil yang jelas.