Kamis 19 May 2016 04:53 WIB

Kisah Warisan Diponegoro, Pangeran Ulama Pemimpin ‘Java Oorlog’

Foto:
Sketsa pensil Dipo Negoro: Pemimpik Pemberontak di Jawa, karya AJ Bik.

Lukisan ‘Dipo Negoro: Pemimpin Pemberontak di Jawa’ ini merupakan sketsa pensil karya Adrianus Johanes  Bik (AJ Bik)  yang dilukis di Stadhuis, Batavia, antara 9 April dan 3 Mei 1830. Tampak Pangeran Diponegoro berbusana ‘ulama’ yang dipakainya selama perang Jawa, yaitu serba,  baju koko tanpa kerah, dan jubah.

Sebuah selempang tersampir di bahu kanan dan keris pusaka. Kanjeng Kiai Bondoyudo, terselip ikat pinggang yang terbuat dari sutra bermotif bunga-bunga.

Pipinya tampak agak cekung menonjolkan tulang pipi Pangeran, adalah akibat serangan malaria yang ia derita sejak menjadi pelarian di hutan-hutan Begelen dan Banyumas pada masa akhir perang (11 Noveber – 9 Februari 1830). Lukisan aslinya tersimpan di Rizksmuseum, Amsterdam.

Sebagai cucu seorang raja (dari garis ayah), Diponegoro dari garis ibu memang cucu seorang ulama atau kiai berpengaruh. Maka ketika melihat kerajaaanya terus melemah dan banyak dicampuri orang asing, Diponegoro pun resah. Sejarawan  Saleh A Djamhari mengatakan Diponegoro memandang pemerintahan yang dijalankan adiknya (Hamengku Buwono IV) itu lemah baik dalam pikiran dan hatinya karena rela diperbudak orang-orang barat. Kebiasaan berpakaian secara Eropa dan kebiasaan minum-minuman keras merupakan penodaan terhadap keyakinan agama dan tradisi yang dijunjung tinggi oleh orang Jawa.

'Diponegoro menganalogika masyarakat Kesultanan Yogyakarta dengan masyarakat Arab pra Islam yang disebut masyarakat jahiliyah,'' kata Saleh. Karena keadaan itu dia pun mulai menyingkir dengan pergi ke gua-gua meniru kebiasaaan Muhammad sebelum jadi nabi. Bukan hanya itu ia pun berkelana ke masjid-masjid atau dari pesantrenke pesantren di pelosok desa. Pada satu titik tertentu, ia pun menanggalkan baju kebesaran tradisionalnya dan sekaligus mengganti namanya.

"Namaku bukan Dipanegara lagi, tapi 'Ngabdulkamid' (lidah jawa menyebul nama Arsb: Abdul Hamid,red),'' kata Saleh menirukan sikap Diponegoro. Sejak itu Diponegoro (selama Perang Jawa) mengenakan 'pakaian ulama' berwarna putih atau hijau,warna yang disukai Nabi Muhammad.

Sebagai seorang Muslim penganut tarikat Satariyah, cita-cita perjuangan Diponegoro saat itu adalah ingin mengubah masyarakat dari kesultanan Yogyakarta menjadi masyarakat dalam wadah 'balad' (negara Islam). ia pun yakin bila pembentukam 'balad islam' hanya bisa dicapai dengan perang sabil terhadap kafir barat.

Pilihan cita-cita serta sikapnya yang mau berbaur dengan rakyat itulah yang membuat perlawanan Diponegoro mendapat dukungan, pengakuan, dan legitimasi  dari para pemimpin masyarakat. Para demang, bekel, kiai terkenal seperti Kiai Mojo, Kai Mlangi, Kiai Kwaron,Kiai taptoyani, serta para ulama sahabatnya dari berbagai daerah menyokong gerakannya.

Pater Carey mencatat ada 112 kiai, 31 haji, 15 syekh dan penghulu yang sepaham dengan Diponegoro. Bukan hanya itu, dalam babad Dipanegara versi Surakarta disebutkan bahwa banyak temenggung, kliwon, penewu, mantri pangeran arya hampir tiap malam datang ke Tegalrejo (markas perlawanan Diponegoro) berjanji setia dan akan mendukungnya dalam melakukan 'perang sabil' (perang suci di jalan Allah).

Jadi wajar bila kemudian seorang anggota pasukan Belanda yang seniman, AJ Bik, melukis Pangeran Diponegoro dengan pose memakai pakaian kebesaran ala seorang ulama. Sebab. sosok dia pada saat itu oleh rakyat Mataram dipandang sebagai seorang pemimpin umat atau seorang ulama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement