Kamis 19 May 2016 04:53 WIB

Kisah Warisan Diponegoro, Pangeran Ulama Pemimpin ‘Java Oorlog’

Foto:
(dari kiri ke kanan) Tongkat Cakra Donya, tombak Kiai Rondhan, pelana kuda Pangeran Diponegoro)

Tongkat ini terbuat dari kayu, perak, embos emas, besi meteorit, dengan ukuran 134 x 3 cm. Diperkirakan dibuat pada akhir abad ke 16.

Benda ini dibuat untuk seorang Sultan Demak, pada abad keenambelas. Tongkat ziarah pusaka ini diberi kepada Pangeran Diponegoro pada tahun 1815 oleh seorang warga biasa asal Jawa.

Simbol cakra mempunyai makna penting bagi Pangeran Diponegoro, mengingat cakra adalah senjata tradisional milik Dewa Wisnu, yang inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia dengan menggenggam senjata dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan kedatangan Ratu Adil atau Erucokro, sebuah titel yang digelar Diponegoro pada masa awal Perang Jawa.

Tongkat diambil pasukan sekutu Belanda pada 11 Agustus 1829 saat kampanye terakhir Diponegoro di Mataram dan diberi kepada Pangeran Notoprojo, seorang trah Sunan Kalojogo, salah satu wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah pada abad ke-16, dan cucu panglima perang perempuan Pangeran Diponegoro yang tersohor Nyai Ageng Serang.

Pada Bulan Juli 1834 Notoprojo memberikan tongkat ini kepada Gubernur Jendral JC Baud ( menjabat 1833-1836) sewaktu dia melakukan perjalanan (tournee) pertama kali ke Jawa Tengah.

Ahli waris Boud, Michel, dan Erica, mengembalian tongkat ini kepada rakyat Indonesia yang diwakili Monumen Nasional, pada 5 Februari 2015 pada waktu pembukaan pameran ‘Aku Diponegoro: Sang Pangeran Dalam Ingatan Bangsa dari Raden Saleh Hingga Kini’ di Galeri Nasional (5 Februari – 8 Maret 2015).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement