Kamis 19 May 2016 04:53 WIB

Kisah Warisan Diponegoro, Pangeran Ulama Pemimpin ‘Java Oorlog’

Foto:

Pelana kuda Diponegoro ini diletakan di dalam sebuah lemari kaca. Pelana kuda terbuat dari jerami padi, kawat, kulit, besi tempaan dengan ukuran 75 x 50 cm. Pelana ini didapat sekitar tahun 1825.

Diponegoro memang dikenal sebagai penunggang kuda  hebat. Sebelum perang berkobar, di kediamannya di Tegalrejo ia memiliki istal luas. Istalnya memerlukan tak kurang dari 60 pekatik (pemelihara kuda dan pemotong rumput).

Beberapa tunggangannya seperti Kiai Gentayu (Ki Gitayu), seekor kuda hitam dengan kaki putih, dianggap pusaka hidup. Kemahiran menunggang kuda Sang Pangeran memungkinkannya berkelit dari kejaran Belanda.

Namun, pada 11 November 1829, di ulang tahunnya ke-44, nasib baiknya habis. Ia disergap di pegunungan Gowong di Kedu selatan-barat oleh Mayor A.V. Michiels (1797-1849) dan Pasukan Gerak Cepat ke-11 yang terdiri dari pasukan Ternate yang terkenal dengan kemampuan  lacaknya.

Menghindari penyergapan itu, terpaksa Sang Pangeran melompat dari atas kudanya ke lembah yang terdekat. Saat itu dia juga mendapat luka di bagian kaki. Diponegoro berhasil selamat dengan cara bersembunyi bawah rimbun rumput Gelagah.

Namun tindakan ini dibayar mahal. Kuda, tombak pusaka (Kiai Rondhan), dan seluruh kopor pakaian (termasuk jubahnya) berhasil direbut tentara kolonial

Tombak dan pelana kuda tersebut kemudian dikirim kepada raja Belanda Wiliem I (bertakhta, 1813-1840), sebagai rampasan perang. Namun, seratus lima puluh tahun kemudian benda milik Diponegoro dikembalikan kepada Indonesia oleh Ratu Juliana pada tahun 1978.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement