Jumat 29 Apr 2016 05:00 WIB
Mengenang Kiai Ali

KH Ali Mustafa Yaqub Bicara tentang Nikmatnya Belajar Hadis

Prof DR KH Ali Mustafa Ya'qub menyampaikan tausiyah usai shalat maghrib berjamaah dengan awak redaksi di Mushala Harian Republika, Jakarta, Jumat (21/8).
Foto: Republika/Damanhuri Zuhri
Ali Mustafa Yaqub

Rujukan ilmu hadis kan susah?

Betul. Tapi saya katakan, sekarang lebih bagus dibandingkan dengan 20-30 tahun lalu. Dulu kita tahunya cuma Bukhari-Muslim saja. Yang lain sulit. Tapi sekarang mencari kitab-kitab seperti Abu Daud, Tarmidzi, an-Nasa'i, dan sebagainya sudah banyak. Jadi ada perkembangan ilmu hadis di Indonesia, cuma mungkin tidak laris.

Jika sudah banyak buku hadis, tapi mengapa masih banyak hadis keliru yang dipakai?

Orang nggak mau belajar ilmu hadis. Kedua, ada fanatisme. Ada orang yang memanfaatkan buku saya bukan main. Saya dapat laporan, ada yang sampai seluruh buku saya dia kumpulkan. Tapi ada juga yang ketika membaca buku saya, disebut ini hadis adalah palsu, dia bilang, 'Kata guru saya nggak. Guru saya memakai hadis itu, ya saya ikuti. Di buku itu kan pengarangnya bukan guru saya'. Nah, ada yang seperti itu juga.

Apa reaksi Anda?

Biarlah seperti itu. Yang penting saya sudah menyampaikan untuk meluruskan hal-hal yang tidak tepat di masyarakat. 

Ada yang mengecam Anda?

Mengecam ya, tidak. Tapi dalam pengertian mengoreksi biar lebih bagus, itu banyak sekali. Dan itu bagus, hingga terbitan berikutnya saya perbaiki. Salah kata, dan sebagainya.

Yang Anda tulis hadis keliru, tidak ada yang membantah?

Tidak ada. Sampai sekarang, saya justru kalau ada orang yang mau membantah, silakan. Itu ilmu bagi saya. Asal dia punya argumen yang kuat. Tapi kebanyakan tidak sampai situ.

Sengaja memilih media buku?

Bagi saya, ilmu yang disebarkan melalui tulisan itu lebih awet dan lebih efektif. Memang kadang-kadang perkembangannya lambat, tapi pasti. Lain dengan ilmu yang disampaikan melalui ceramah, seketika kayak bom, tapi hilang setelah itu. Yang menarik bagi saya, kenapa saya punya keinginan yang tinggi untuk menulis? Ketika saya menulis tesis MA, saya mendapatkan referensi yang orangnya tidak terkenal sama sekali. ''Ini orang sudah meninggal 10 abad lalu, masih dibaca bukunya di perpustakaan.'' Kemudian ada syair yang menyebutkan, ''Karya tulis kekang sepanjang masa, sementara penulisnya hancur di bawah tanah. Ini berarti, orang punya buku meskipun sudah mati, itu mendapat 'kiriman' terus. Kenikmatannya seperti itu.

Sejak mahasiswa Anda sudah berniat menulis buku?

Justru ketika mahasiswa. Dulu saya belajar di Arab Saudi 9 tahun, S-1 dan S-2 di sana. Saya mencoba apakah tulisan saya dibaca orang atau tidak. Saya coba kirim dulu ke majalah Panji Masyarakat, 1977. Terus kirim ke Kiblat. Udah, setelah dimuat di Panji Masyarkat dimuat di Kiblat, saya tidak meneruskan menulis, tapi saya belajar dulu, biar lebih konsen. Tapi dengan dimuatnya tulisan saya itu, berarti tulisan saya sudah layak terbit. Itu jadi modal saya, saya kemudian belajar saja. Setelah selesai belajar, kemudian mulai menulis. Dan saya wariskan kepada santri-santri Darus-Sunnah, 'kamu jangan mati sebelum menulis buku'. Alhamdulillah sudah banyak yang menulis buku. Bahkan ada yang lebih banyak dari saya.

Anda senang?

Saya merasa bersyukur. Berarti, ibarat saya menanam, tumbuh subur. Bukan saya merasa disaingi, saya bersyukur.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement