Jumat 29 Apr 2016 05:00 WIB
Mengenang Kiai Ali

KH Ali Mustafa Yaqub Bicara tentang Nikmatnya Belajar Hadis

Prof DR KH Ali Mustafa Ya'qub menyampaikan tausiyah usai shalat maghrib berjamaah dengan awak redaksi di Mushala Harian Republika, Jakarta, Jumat (21/8).
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Prof DR KH Ali Mustafa Ya'qub menyampaikan tausiyah usai shalat maghrib berjamaah dengan awak redaksi di Mushala Harian Republika, Jakarta, Jumat (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Wafatnya Prof KH Ali Mustafa Yaqub menorehkan duka bagi umat Islam di Indonesia. Pakar hadis ini wafat di RS Hermina, Ciputat pada Kamis (27/4) pagi karena penyakit diabetes. Selain penulis produktif, mantan Imam Masjid Besar Istiqlal ini kerap menjadi narasumber untuk Harian Republika. Keahliannya di bidang hadis terasa perlu untuk dieksplorasi mengingat banyaknya hadis palsu sekaligus penafsiran hadis yang kurang tepat selama ini.

Menilik arsip Pusat Data Republika, Kiai Ali pernah diwawancarai secara khusus tentang keilmuwannya. Master lulusan Jurusan Tafsir Hadis Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi (1985) itu pun bercerita banyak perihal hadis. Termasuk bukunya yang bertajuk Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan.

Kiai Ali menyebutkan terjadi kekeliruan di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang membagi Ramadhan menjadi tiga bagian. Padahal, tindakan Nabi Muhammad yang hanya membagi masa Ramadhan yang hanya menjadi dua, menurut hadis riwayat Aisyah. ''Pertama, 1-20, kemudian 21 sampai akhir Ramadhan. Satu sampai 20, Nabi masih biasa-biasa saja. Tapi ketika 21 sampai akhir, itu sudah tancap gas,'' ujar lulusan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, itu. 

Lantas, bagaimana Kiai Ali berbicara mengenai bidang yang digelutinya itu? Untuk mengetahui lebih jauh sosok almarhum, Republika.co.id menyajikan ulang wawancara dari bekas wartawan Republika, Burhanudin Bella yang sempat mewawancara almarhum pada 2006 silam.

Mengapa Anda mendalami ilmu hadis?

Alasannya karena di Indonesia langka orang yang mau mendalami ilmu hadis. Yang fikih banyak, yang tafsir juga. Ilmu hadis ini yang banyak orang tidak berminat. Makanya saya masuk situ sajalah. Ini masalahnya penting juga, sebagai sumber agama kok.

Ada dorongan lain?

Ada juga. Belajar hadis itu lebih nikmat dari pada belajar yang lain. Karena ketika kita mempelajari, seolah-seolah kita sedang berada dengan Nabi. Itu nikmatnya. Saya belajar juga fikih, yang lain-lain juga, tapi tidak senikmat belajar hadis. Selain karena kelangkaan dan kenikmatan, orang kalau belajar hadis akan sering mendapatkan nama Nabi Muhammad. Nah, ketika itu dia akan membaca shalawat. Banyak baca shalawat kan semakin banyak pahalanya.

Kalau di sini kurang ahli hadis, bagaimana Anda memperkaya pengetahuan itu?

Pertama saya pernah belajar secara formal. Kedua, saya masih punya guru di Saudi Arabia, dan saya selalu konsultasi, di samping saya membaca kitab. Kalau ada satu hal yang musykil bagi saya, baru konsultasi dengan guru saya.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement