Selasa 16 Feb 2016 06:00 WIB

Alquran Tak Pernah Selesai Kita Baca

Seorang jamaah membaca ayat Alquran melalui smartphone.
Foto: the guardian
Pemuda Muslim keturunan Afrika sedang membaca Alquran di kereta Uptown 6 di Manhattan, New York.

Padahal alangkah banyak kitab suci bagi manusia ini; bergantung dari mana manusia itu menentukan pilihan. Bisa karena suatu agama, tapi bisa pula bentuknya adalah buku indoktrinasi, mahakarya, kredo gerakan, bahkan amanat suatu warisan. Kalau sudah begitu sebenarnya jadi malu mengakui bahwa Alquran adalah kitab suci saya, sebab ternyata yang dibaca ternyata justru kitab lain yang kurang suci, banyak salahnya, banyak menimbulkan keraguan. 

Coba, di rumah saya saja ada beberapa jenis Alquran: dua buah tafsir terjemahan versi Departemen Agama (yang seharusnya dibagikan gratis untuk seluruh Muslim bangsa Indonesia ini!), terjemahan Inggris karya Yusuf Ali, dua buah versi saku, sebuah yang tanpa tafsir, dan Al-'Aliyy, bahkan dulu ada versi tafsir H.B. Jassin --yang akhirnya dibawa kakak ke luar Jawa.

Belum bila ditambah konkordansinya, delapan jilid tafsir Ibnu Katsier yang tebal-tebal, Tema Pokok Alquran (Fazlur Rahman), dan beberapa kitab penjelas lainnya. Apa artinya buku itu bagi saya, terutama, jika sebenarnya jarang saya baca? Malulah saya jadinya. 

Tapi meskipun cacat begitu pemahaman dan kepedulian saya pada Alquran, tetap ada yang bisa dituliskan. Misalnya soal surah dan ayat favorit. Saya tidak tahu persis kenapa begitu menyukai surah Al-Bayyinah (harfiahnya: barangkali karena rimanya yang sangat terjaga, atau itu terjadi sebagai sisa-sisa ingatan ketika belajar ngaji waktu kecil dulu, atau bisa jadi karena tafsirnya yang menyebutkan bahwa Alquran itu adalah bukti nyata kesucian sebuah kitab, dijaga isinya, dimuliakan lembaran-lembarannya. Di atas semua surah, inilah yang paling gemar saya ulang-meskipun belum hapal dengan sempurna. 

 

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement