Ahad 13 Dec 2015 17:40 WIB

Lima Rekomendasi ICMI untuk Indonesia

Rep: M Nursyamsi/ Red: Agung Sasongko
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) 2015 terpilih, Jimly Asshiddiqie, menyampaikan sambutannya saat penutupan Muktamar VI dan Milad ke-25 ICMI di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Ahad (13/12).
Foto:
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM --  Jimly menilai, sudah beberapa dekade lamanya Indonesia tersandera praktik politik dan pelaksanaan hukum yang kotor dan berpihak pada kepentingan elit. Hal tersebut bukan hanya terjadi di masa orde baru, melainkan juga setelah reformasi.

Harapan untuk mendapatkan pemerintahan, politik, serta pelaksanaan hukum yang bersih tidak terpenuhi. "Praktik moral hazard malah menjadi-jadi," ungkapnya.

ICMI, kata dia, menegaskan etika yang didasarkan pada sila Ketuhanan yang Maha Esa harus menjadi landasan politik, hukum, dan pelaksanaan negara sama sekali diabaikan.

Pihak-pihak yang harus mengawal etika, ia nilai, malah mengabaikan etika, dan cenderung bekerja untuk kepentingan elit. Masalah etika dalam kasus Freeport sekarang menjadi ujian seberapa bersungguh-sungguh kalangan politik dan hukum menganggal penting etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lanjutnya.

"Saatnya dunia politik Indonesia dibebaskan dari kepentingan uang dan ditransformasikan ke pendekatan ideologis kesejahteraan masyarakat. Saatnya reformasi penegakan hukim dilakukan melalui penbinaan dan penggantian aparat, hingga penataan sistem administrasi hukum dan remunerasi," katanya melanjutkan.

Menurut Jimly, reformasi birokrasi lewat penyederhanaan sistem administrasi birokrasi yang sejalan dengan penguatan transparansi juga perlu menjadi prioritas. Begitu pula penguatan peran secara semestinya lembaga-lembaga negara MPR dan DPD hingga KPK yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi bersama kepolisian dan kejaksaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement