REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tegak berdiri di bumi Palestina, Masjid al-Aqsa merupakan satu dari tiga situs suci umat Islam. Posisinya di Yerusalem membuat al-Aqsa berada di jantung konflik tiga agama besar. Islam, Kristen, dan Yahudi bersama-sama mengajukan klaim kepemilikan. Situs bersejarah ini telah berulang kali menyaksikan konflik dan perebutan kekuasaan.
Firas Alkhateeb dalam The Al Aqsha Mosque Through The Ages merunut, cikal bakal al-Aqsa sudah ada sejak masa nabi-nabi terdahulu. Hadis Rasulullah dari Abu Dzar al-Ghifari menyebutkan, al-Aqsha adalah masjid tertua di dunia setelah Masjidil Haram.
Hadits ini mengisyaratkan, Masjid al-Aqsa sudah ada sejak anak turun pertama Ibrahim. Ibnu Qayyim al-Jauzy menerangkan, Nabi Yaqub dan Dawud diketahui pernah membangun ulang masjid tersebut. Kemudian, Sulaiman merenovasinya pada tahun 960 SM.
Sejak awal, situs ini berstatus masjid, bukan kuil atau sinagoge. Ketika Islam diturunkan di jazirah Arab, agama ini melanjutkan ajaran tauhid dari nabi-nabi sebelumnya. Kuil Sulaiman yang dibangun di Yerusalem pada zaman kuno otomatis menjadi bagian dari sejarah Islam.
Masjid al-Aqsa, disebut juga Bait al-Maqdis, berarti "masjid yang jauh". Masjid ini berlokasi di sebuah area persegi empat yang disebut al-Haram asy-Syarif. Luas kompleks itu sekitar 133.950 meter persegi. Berbentuk persegi empat, al-Aqsa hanya memiliki satu kubah. Orang sering salah mempersepsikan masjid ini dengan situs di sebelahnya, Dome of The Rock atau Kubah Batu yang memiliki kubah keemasan menjulang.
Masjid al-Aqsha telah bertahan melintasi berbagai masa. Yerusalem—Masjid al-Aqsa—kembali ke tangan Muslim semasa Umar bin Khattab pada 638 M. Sejumlah literatur mencatat peristiwa penaklukkan bersejarah ini. Mulai dari al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal, Jerusalem: The Biography karya Simon Sebag Montefiore, hingga Karen Armstrong dalam Jerusalem Satu Kota Tiga Iman
Semua sejarawan mencatat, pembebasan Yerusalem oleh Umar bin Khattab berlangsung aman dan damai. Dengan penuh kesederhanaan, Amirul Mukminin datang langsung dari Madinah menerima penyerahan kota suci ini. Pemimpin umat Kristiani di Yerusalem, Sophronicus, menyambut kedatangan Umar untuk menyerahkan kunci-kunci Yerusalem. Umar memutuskan membersihkan lokasi itu dan membangun ulang Masjid al-Aqsa. Pada masa Umar, Masjid al-Aqsa memiliki kapasitas 3.000 orang. Amirul Mukminin juga bermusyawarah dengan Ka'ab mengenai lokasi pembangunan masjid.
Selama beberapa dekade, struktur bangunan sederhana yang dibangun Umar tetap menjadi bangunan utama di al-Haram asy-Syarif. Dinasti Umayyah, pemegang tampuk kekuasaan Islam berikutnya, memiliki perhatian besar terhadap Yerusalem.
Pada 690 M, Khalifah Abdul Malik dari Dinasti Umayyah membangun kembali Masjid al-Aqsa yang jauh lebih besar dan lebih kukuh. Sejak itu, renovasi terus dilakukan tanpa mengubah bentuk dasar bangunan. Al-Aqsa berkubah biru yang tampak sekarang dibangun secara permanen oleh Khalifah Abd Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah.
Kendati begitu, Masjid al-Aqsa bukan pencapaian terbesar Khalifah Marwan. Prestasi terbesar Marwan adalah sebuah bangunan yang ia bangun sekitar 200 meter di sebelah utara al-Aqsa: Dome of the Rock (Kubah Batu).
Setelah kejatuhan Bani Umayyah pada 750M, Yerusalem berada di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Perhatian Abbasiyah terhadap Yerusalem tidak sebesar Dinasti Umayyah. Kekhalifahan yang baru ini menempatkan ibu kota pemerintahan di Baghdad, Irak. Kendati begitu, Yerusalem terus menjadi tempat ziarah yang penting. Masjid al-Aqsa tetap menjadi pusat keagamaan di sana sampai 900-an Masehi.
Serentetan gempa bumi sempat merusak sebagian besar bangunan Masjid al-Aqsa pada masa Abbasiyah. Pada gempa bumi tahun 746 M, Masjid al-Aqsa nyaris hancur total. Khalifah al-Mansur merekonstruksi kembali Masjid al-Aqsa, yang dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mahdi.