REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan tinggal menghitung hari. Bulan nan suci ini akan pergi, sedangkan 1 Syawal atau Idul Fitri menjelang.
Sebelum hari raya tersebut, kaum Muslimin menikmati Malam Takbiran. Inilah penanda bahwa Ramadhan telah usai. Orang-orang Islam bersyukur kepada Allah dengan mengumandangkan takbir dan tahlil.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengartikan "wa li tukabbiru Allaha ala maa hadaa kum" (QS al-Baqarah: 185) dengan 'mengagungkan Allah atas hidayah dan tuntunan yang diajarkan lewat Rasul kepada manusia.'
Disunahkan untuk bertakbir ketika Idul Fitri untuk merayakan hari lulusnya umat Islam dari kewajiban puasa Ramadhan. Secara sosiologis, ibadah ini melembaga dalam bentuk takbiran.
Dengan rasa suka cita, kaum Muslimin bertakbir dengan pengeras suara, misalnya. Takbir dalam Islam dapat dipandang sebagai ruh ibadah. Dalam shalat, di setiap perubahan gerak diawali dengan takbir. Ketika shalat jamaah, takbir adalah komando agar makmum segera mengikuti gerakan imam. Paling tidak, 85 kali sehari kaum Muslimin bertakbir mengagungkan asma Allah.
Takbir adalah suatu deklarasi ketundukan ego manusia pada kekuatan Mahabesar yang ada di luar diri mereka. Takbir adalah pengakuan jujur ketidak-berdayaan makhluk yang lemah kepada Khaliknya. Takbir juga pertanda kepasrahan diri manusia yang Muslim kepada Rabb mereka.
View this post on Instagram
Dalam titik religiusitas itu, manusia Muslim sadar, dalam kosmos yang tak terbatas ini dirinya sangat kecil. Manusia ibarat sebuah sel dalam tumbuhan raksasa. Dia hanya sebutir debu di tengah kabut galaksi. Dia hanya seorang aktor dalam panggung nasib yang telah direkayasa Sang Sutradara Agung. Dia hanya seorang hamba yang terikat dan telah ber-syahadah untuk menjalankan seluruh perintah Allah.