Ahad 25 Oct 2015 21:23 WIB

Tobat Nasuha, Bagaimana Mencapainya?

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Air mata tobat (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Air mata tobat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah pembunuh yang diterima tobatnya mengingatkan kita pada sabda Rasulullah, "Setiap anak Adam memiliki kesalahan.  Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertobat."

Dari sini kita belajar, bagaimana seorang pembunuh yang telah menghabisi 100 nyawa memiliki ikhtiar kuat untuk bertobat. Jalannya memang tak mudah, tapi ia tak menyerah.

Bagaimana seandainya si pendosa menyerah setelah dihukumi "tidak" oleh pendeta pertama? Malaikat tentu tak perlu bertengkar memperebutkan kedudukannya.  Kita pun, sebagai sesama manusia, hendaknya menuntun, membuka jalan, atau setidaknya, tidak menutup pintu bagi orang-orang yang bertobat. Tobat Nasuha Allah menyukai orang-orang yang bertobat.

(Baca Juga: Terlambatkah Kita Bertobat)

Imam Nawawi al-Bantani dalam Nashaih al-Ibad, menuliskan sebuah hadis riwayat Abu Abbas. "Allah lebih senang pada tobatnya seorang hamba yang bertobat melebihi senangnya orang haus yang menemukan air, atau orang mandul yang memiliki anak, atau senangnya orang yang kehilangan barang lalu menemukannya.

Maka, barang siapa yang bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha, Allah akan membuat lupa para malaikat yang menjaganya, anggota tubuhnya, serta bumi yang dipijaknya atas dosa dan kesalahan yang telah dia lakukan."

Dalam surah at-Tahrim ayat ke-8, Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (taubat yang semurni-murninya)."

Lantas, apa yang dimaksud dengan tobat nasuha? Ibnu Katsir dalam Tafsir al- Quran al-'Azhim menjelaskan, tobat nasuha, yaitu tobat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan.

Dalam kitab Riyadh as-Shalihin dijelaskan, jika kemaksiatan itu menyangkut urusan seorang hamba dengan Allah saja, tidak ada hubungannya dengan hak manusia, tobatnya harus memenuhi tiga syarat. Pertama, hendaklah ber henti melakukan mak siat. Kedua, menye sal karena telah melakukan kemak siatan. Ketiga, berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya.

Apabila tobatnya berkenaan dengan hubungan sesama manusia, tiga syarat tersebut ditambah satu lagi. Orang yang bertobat itu harus meminta kehalalan dari orang yang diambil hak-haknya atau dizalimi.

Rasulullah mengajarkan kita mengiringi keburukan dengan kebaikan, niscaya dengan kebaikan itu akan gugur tiap-tiap keburukan. Karena, seperti sabda Nabi dari Abdullah bin Umar, "Sesungguhnya Allah menerima tobat hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongan."

Manusia tak akan pernah bisa lepas dari cahaya Allah, segelap apa pun lakon hidupnya. Dalam bahasa Chairil Anwar, dia terlafaz, Tuhankudi pintu-Mu aku mengetuk aku tak bisa berpaling.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement