Kamis 15 Oct 2015 10:57 WIB

Beda Hijrah Masa Rasulullah dan Kekinian

Rep: Sri Handayani/ Red: Indah Wulandari
Umat muslim melakukan Doa Akhir dan Doa Awal Tahun Baru 1437 Hijriyah di Alun-alun Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (13/10).
Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Umat muslim melakukan Doa Akhir dan Doa Awal Tahun Baru 1437 Hijriyah di Alun-alun Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Jendral (Sekjen) Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, hijrah pada dasarnya tidak harus dimaknai sebagai perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat yang lain, persis seperti yang dilakukan Rasulullah SAW dahulu. Dalam kondisi saat ini, kewajiban berpindah tempat secara fisik dianggap sudah tidak relevan, kecuali pada kondisi tertentu.

“Situasi dan kondisi sekarang ini berbeda dengan apa yang dialami oleh sahabat pada waktu itu,” kata Abdul Mu’ti saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/10).

Perintah berpindah tempat pada zaman dahulu bersifat wajib, sebab Nabi Muhammad SAW dan para sahabat terus menghadapi berbagai tekanan, ancaman bahkan kekerasan selama di Makkah. Keselamatan jiwa dan keimanan mereka terancam ketika itu.

Hijrah dalam konteks kejadian tersebut dipandang sebagai proses migrasi untuk mencari suaka demi  mencari perlindungan dan mengembangkan kehidupan baru di tempat yang lebih aman. Mereka juga lebih memungkinan membangun kehidupan dan masa depan perjuangan.

“Dalam konteks negara Indonesia yang secara sosial dan politik lebih aman, hijrah secara fisik tidak wajib dilakukan,” ujar Mu’ti.

Lantaran tidak ada tekanan yang mengancam jiwa dan keimanan seperti yang terjadi pada masa Rasulullah. Di negara ini, masyarakat Muslim masih dapat menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. 

“Maka hijrah seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu meninggalkan kampung halaman ke tempat lain sudah tidak sesuai dengan kenyataan dan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat Islam itu sendiri,” kata dia.

Lebih lanjut Abdul menjelaskan, hijrah secara fisik tetap menjadi wajib dengan beberapa persyaratan. Pertama, Muslim terancam keselamatan jiwanya. Dalam hal ini, hijrah merupakan upaya untuk menyelamatkan diri.  Kedua, dia tidak memiliki harapan hidup lebih baik di tempat ia berada. Ini bisa disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.

Ketiga, ia yakin akan menjadi lebih baik di tempat yang baru. Dalam konteks ini, perpindahan dilakukan secara sadar, bukan sebagai upaya untuk melarikan atau mengasingkan diri. Ini harus dipikirkan sebaik-baiknya dengan bekal yang cukup untuk bisa bertahan hidup dan berkembang di tempat yang baru.

Pada masa Rasulullah SAW, hal ini dicontohkan selama bertahun-tahun. Sebelum proses hijrah, Nabi Muhammad SAW membicarakan hal ini dengan para sahabat. Ia juga melakukan berbagai pertemuan dengan para pimpinan di kota Madinah.

Persyaratan keempat, yaitu proses hijrah harus diawali dengan niat yang baik, bukan untuk melakukan maksiat.  Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, seorang Muslim lebih diutamakan untuk tinggal di tempat ia bermukim.

Dengan begitu, ia dapat membangun daerah tempat ia dilahirkan dan berusaha memajukan wilayah tersebut sebagai bagian dari upaya membangun hubungan baik dengan sesama manusia (hablumminannas).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement