Rabu 05 Aug 2015 19:54 WIB
Muktamar NU

Ini Alasan Kiai Hasyim tak Mau Dicalonkan Jadi Rais Aam

Rep: Andi Nurroni/ Red: Indah Wulandari
Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi.

REPUBLIKA.CO.ID,JOMBANG -- Sekitar 500 muktamirin berkumpul di Ponpes Tebuireng, Jombang sejak Rabu (5/8) sore. Mereka berkumpul merespons ketidakpuasan atas berjalannya Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang mereka anggap diatur dengan sewenang-wenang.

Hadir dalam konsolidasi tersebut KH Hasyim Muzadi. Kiai Hasyim merupakan sosok yang didukung sebagian muktamirin untuk menjadi Rais Aam Syuriah.

Di hadapan para muktamirin, Kiai Hasyim mengaku bisa merasakan kekecewaan para muktamirin atas berjalannya Muktamar yang dia anggap sarat kejanggalan. Ia pun secara terbuka mengekspresikan keluhannya.

"Penyakitnya bukan pada ulama. Tapi, kelompok yang merekayasa ulama," ujar dia.

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Hasyim juga menegaskan sikapnya untuk tidak mau dicalonkan atau dipilih menjadi Rais Aam.

"Saya tidak mau dicalonkan sebagai Rais Aam karena itu akan menyebabkan perpecahan. Sekalipun, saya tahu muktamar ini penuh dengan kepalsuan dan kezaliman," kata dia.

Meski begitu, Kiai Hasyim mewanti-wanti agar muktamirin yang kecewa tidak membuat muktamar tandingan, terlebih NU tandingan. Hal itu, menurut dia, akan membuat nama NU hancur di mata masyarakat, bahkan di tingkat dunia.

Jika tidak puas, menurut Kiai Hasyim, muktamirin bisa mengambil sikap. Terlebih, menurut dia, PBNU telah demisioner sejak Rabu (5/8) sore. Jika mereka yang tidak puas jumlahnya lebih dari setengah, kata dia, muktamirin bisa membuat sidang lanjutan yang terpisah dan mengambil keputusan.

Hal itu, menurut Kiai Hasyim, bukan merupakan Muktamar tandingan. Ia menyebutnya Muktamar lanjutan, karena dilakukan oleh para peserta yang sama.

Beberapa poin ketidakpuasan sebagian muktamirin, di antaranya adalah penggunaan pemilihan ahlul halli wal aqli atau AHWA, yakni musyawarah mufakat, yang dianggap dipaksakan.

Selain itu, dalam proses penyampaian laporan pertanggungjawaban, mereka juga merasa tidak diberi kesempatan menyampaikan pandangan umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement