REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Australia dan Selandia Baru, Prof Nadirsyah Hosen menyatakan kekecewaannya atas kericuhan yang terjadi saat registrasi Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur.
“Sikap panitia jauh dari sikap simpatik kepada para utusan menjadi bagian dari hal yang harus diperbaiki agar kericuhan tidak terulang lagi,” ungkapnya, Sabtu (31/7).
Gus Nadir, begitu ia biasa disapa, dan 20 pengurus cabang istimewa NU sedunia yang hadir di Jombang untuk mengikuti Muktamar merasa dipersulit saat melakukan pendaftaran, meskipun semua persyaratan yang ditetapkan PBNU dan panitia Muktamar sudah terpenuhi.
Bahkan terjadi kesalahan karena ID Card yang seharusnya peserta menjadi hanya peninjau.
“Hak kami sebagai peserta tidak terpenuhi, dan informasinya simpang siur. Seperti soal jumlah peserta dan peninjau. Info semula katanya kami boleh menghadirkan satu utusan dan boleh lebih dari empat peninjau, ternyata masing-masin panitia punya tafsiran sendiri, dan akhirnya diputuskan hanya menerima satu utusan dan satu peninjau,” paparnya.
Gus Nadir yang merupakan dosen senior di Fakultas Hukum, Monash University, Australia, ini juga menyatakan bahwa panitia Muktamar melalui draft tata tertib telah mengebiri hak suara PCI. Lantaran seharusnya semua PCI secara kolektif hanya dianggap memiliki satu suara saja.
“Ini jelas bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU, karena setiapa PCI NU seharusnya sama hak dan suara dalam Muktamar,” paparnya.
Utusan cabang istimewa yang telah hadir dan berada di arena muktamar termasuk dari Turki, Maroko, Prancis, Belanda, Libanon, Australia, Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dan Malaysia.