Kamis 10 Jul 2025 08:23 WIB

Kisah Keteladanan 2 Ulama Besar NU, Saling Menghormati di Tengah Perbedaan

KH Hasyim Asy'ari dan KH Faqih beda pendapat soal penggunaan kentongan.

Santri mengibarkan bendera Merah Putih dan Nahdlatul Ulama saat mengikuti kirab santri di Karawang, Jawa Barat (ilustrasi)
Foto: ANTARA/M Ibnu Chazar
Santri mengibarkan bendera Merah Putih dan Nahdlatul Ulama saat mengikuti kirab santri di Karawang, Jawa Barat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persahabatan antara Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan KH Faqih Maskumambang telah terjalin sejak masa remaja. Keduanya pertama kali berkenalan ketika menjadi santri di Pesantren Syekh Kholil Bangkalan.

Hubungan itu terus berlanjut hingga mereka melanjutkan belajar ilmu-ilmu agama di Tanah Suci. Di Haramain pun, mereka menempuh masa belajar yang hampir bersamaan dan berguru pada sejumlah ulama yang sebagian besar sama.

Baca Juga

KH Hasyim Asy'ari dan KH Faqih Maskumambang adalah para perintis Nahdlatul Ulama (NU). Sosok yang pertama disebut itu berasal dari Jombang, sedangkan yang kedua dari Gresik, Jawa Timur.

Melalui NU, KH Hasyim dan KH Faqih beserta seluruh ulama lainnya melestarikan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Jam'iyyah ini pun merespons merebaknya pemahaman kolot kaum Wahabi serta hal-hal lainnya yang cenderung membid’ahkan amaliah dan ibadah aswaja.

Meski demikian, persahabatan antara KH Hasyim dan KH Faqih tidak selalu mulus. Mereka tetap memiliki perbedaan pendapat atau cara pandang dalam menyikapi persoalan-persoalan furu’iyyah, khususnya dalam bidang fikih.

Perbedaan itu tetap tidak membuat mereka saling menyalahkan atau berpecah belah. Justru sebaliknya, sikap dewasa dan saling menghormati tumbuh di antara keduanya. Itu pun tecermin pada ketegasan kedua dalam melarang para santri untuk bersikap ta’ashub atau fanatik terhadap suatu pendapat tertentu.

Pada tahun 1916 M, terjadi sebuah perbedaan pendapat yang memunculkan perdebatan ilmiah antara Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Faqih Maskumambang. Bermula ketika mereka masing-masing membahas hukum penggunaan kentongan, yakni alat tradisional yang kala itu kerap dipakai sebagai penanda masuknya waktu shalat.

Di satu sisi, Kiai Hasyim melarang penggunaan kentongan, sedangkan di sisi lain Kiai Faqih membolehkannya.

Keduanya lalu menuangkan pandangan masing-masing dalam bentuk buku. Kiai Hasyim terlebih dahulu menulis Al-Jasus fi Bayani Hukm Naqus, yang berisi penjelasan tentang haramnya penggunaan kentongan.

Beberapa pekan kemudian, Kiai Faqih menanggapi dengan menulis kitab berjudul Hazzur Ru’us fi Radd Jasus ‘an Tahrim Naqus, yang berisi bantahan terhadap argumen Kiai Hasyim.

photo
Infografis Nasihat Ulama tentang Pentingnya Amalan Hati - (Republika.co.id)

Ketika Kiai Hasyim Asy'ari mengetahui bahwa Kiai Faqih Maskumambang memiliki pandangan berbeda dengannya, ia mengundang para kiai dan santri senior di Pesantren Tebuireng. Dalam pertemuan itu, ulama besar ini meminta agar teks perbedaan pendapat antara dirinya dan Kiai Faqih dibacakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement