Senin 16 Jun 2025 21:13 WIB

JATMAN DKI Jakarta Gelar Kuliah Tasawuf Bertemakan Sufi dalam Peradaban

JATMAN DKI menggelar kajian ilmu di Masjid an Nahdlah Jl TB Simatupang Jakarta.

Kegiatan kajian ilmu JATMAN DKI.
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Kegiatan kajian ilmu JATMAN DKI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jamiyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabarah an Nadliyyah (JATMAN) Idaroh Wustho DKI Jakarta menggelar kajian ilmu seri kuliah tasawuf bertema ‘Sufi Dalam Peradaban.’ Perkuliahan perdana dilangsungkan di Masjid An Nahdlah, Kantor II Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama (NU) DKI Jakarta, di Jl. TB Simatupang, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.

Ceramah kuliah tasawuf diisi langsung oleh Mudir JATMAN DKI Jakarta, Irawan Santoso Shiddiq. Acara mulai berlangsung sejak setelah sholat Ashar berjamaah, Sabtu (14/06/2025).

Baca Juga

Pada sesi pertama, Mudir JATMAN DKI Jakarta itu bertema ‘Tasawuf Dalam Amalan Salafush Shalih.’ Irawan Santoso mengulas perihal makna secara mendalam pengertian shalafush shalih yang merupakan tiga generasi terbaik dalam Islam. “Itu yang disebut generasi salafi,” ujarnya.

Dalam praktek amal Islam di tiga generasi itu, menurut Irawan Shiddiq, bentuk pengamalan DIN Islam berlangsung secara turun temurun. “Sahabat berguru pada Rasulullah, dan Tabiin berguru pada Sahabat, serta Tabiut Tabiin berguru pada generasi Tabiin, begitulah amalan Islam berlangsung sejak dulu, dan itu yang disebut dengan tradisionalis,” jelas Irawan yang juga penulis buku ‘Kesesatan Materialisme, Tasawuf Menjawab’ itu.

Ia menjelaskan, dari generasi sahabat, sama sekali tidak meninggalkan kitab. “Tak ada satu pun sahabat Nabi, menuliskan kitab, begitu juga Tabiin. Sehingga Islam dijalankan dengan tradisi lisan, pengajaran turun temurun, itu yang kemudian melahirkan Sanad,” tambahnya.

Dan, masalah terbesar kini, ketika melihat Islam hanya dari sisi literasi verbal dan tekstualis. “Sementara adanya kitab, itu baru ditulis dalam generasi Tabiit Tabiin, dimana Imam Malik yang kali pertama menulis kitab Hadist, Al Muwatta,” kata Irawan Shiddiq lagi.

Maka jika hanya menyandarkan pada tesktualis verbal dalam mengambil hukum Islam, tentu itu tak terlalu sesuai dengan amaliah Shalafush Shalih.

Sementara tasawuf ajaran yang diberikan Rasulullah SAW kepada sahabat, yang diteruskan kepada Tabiin hingga kini. “Realitas dzikir dan amalan tasawuf, sejak dulu sudah ada, tapi belum memiliki nama atau istilah, ,” tambah Irawan lagi.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan metode dzikir kepada Sahabat, yang menjadi ajaran dominan dari agama Islam. “Cara berdzikir itu tidak diliterasikan dalam verbalisme, melainkan diajarkan dan diamalkan, dan itu sudah terjadi sejak dulu sampai kini. Dan tradisi itu yang terjaga dan dijaga oleh para sufi sampai kini,” ungkapnya.

Menurut Irawan Shiddiq, pengkritik tasawuf baru muncul di era tahun 700-an Hijriah. “Itu jauh sekali dari generasi Shalafush Shalih. Ibnu Taimiyyah, adalah sufi agung yang memang melancarkan kritik kepada praktek amalan sufi yang dianggapnya menyimpang.

“Tapi dia bukan termasuk generasi salaf, maka keliru jika hanya berpegangan pada Ibnu Taimiyyah, sementara Muhammad Abdul Wahab, itu baru muncul belakangan, sangat tidak relevan dijadikan sumber hukum,” tandasnya.

Dari sisi historis lanjut, Irawan Shiddiq kemunculan aliran salafi-wahabi didasari motivasi ‘bughot’ pada Daulah Utsmaniah, peradaban yang dibangun oleh para sufi. “Yang menyerang sufi Utsmaniah adalah para modernis Islam dan salafis, itu dari internal. Dan mereka berkolaborasi dengan para kuffar, orang-orang kafir,” tandasnya.

Dengan demikian, sudah jelas mengapa dalam tiga abad belakangan ini tasawuf dimusuhi dan dijauhkan dari umat Islam. “Tujuannya agar umat Islam berada dalam kekalahan,” jelasnya.

Karena itu, Irawan Shiddiq mengutip Bernard Lewis, penulis asal Amerika yang mengetengahkan kutipan, “Musuh terbesar bagi kita (kaum kuffar) adalah para Darwis sufi. Hal itu membuktikan bahwa kaum kuffar sangat ketakutan dengan kebangkitan kaum sufi," ungkapnya.

Demikian pula fakta yang berlangsung di Nusantara. Para sufil-ah yang berada di garis depan melakukan jihad kepada kolonialis Belanda dan antek-anteknya. Baik ketika Perang Diponegoro, Perang Sabil di Aceh hingga Perang di Cilegon Banten, dan lain-lain sebagai bukti akhir dari perlawanan ulama tarekat kepada penjajah Belanda. "Sejak itu umat Islam dijauhkan sebisa mungkin dari tasawuf,” pungkasnya.

Seri Kuliah Tasawuf ini berlangsung dalam 9 sesi setiap Sabtu, setelah sholat Ashar. Tema yang diangkat antara lain:

- Pengaruh Sufi merebut Jerusallem hingga terjadinya Magna Charta di Inggris.

- Peranan Tasawuf membangun Daulah Utsmaniyya.

- Kiprah sufi & sufisme dalam peradaban kesutanan nusantara.

- Jejak sufi menghadapi paham mu’tazilah

- Dakwan sufi nusantara di Cape Town, Afrika Selatan (Syekh Yusuf al Makasari, Syekh Nurul Mubin, Syekh Matebe Shah dan lainnya)

- Strategi Zionisme memisahkan tasawuf dari umat Islam.

- Tasawuf menjawab ateisme, sekulerisme, pluralisme, komunisme.

- Kejayaan Islam, kejayaan Tasawuf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement