Ahad 21 Jun 2015 16:16 WIB

Suami Berpoligami, Bolehkah Muslimah Menuntut Cerai? (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Indah Wulandari
Perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah.
Foto: NET/ca
Perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perceraian disebut sebagai perkara halal yang dibenci Allah SWT. Suami yang menceraikan istrinya disebut dengan talak.

Sebaliknya, istri yang menggugat cerai para suaminya dengan jalur pengadilan disebut dengan khulu' (dengan memberikan tebusan) atau fasakh (tanpa tebusan). Talak dan khulu' adalah jalan akhir yang dapat ditempuh jika suami-istri tak lagi bisa mempertahankan rumah tangganya.

Lantas, bolehkah si istri mengajukan khulu' dengan alasan suaminya berpoligami? Apakah alasan ini dapat diterima secara syar'i untuk mengajukan khulu'? Berdosakah istri jika ia tak rela dimadu dan lebih memilih untuk bercerai?

Khulu' adalah perkara sangat serius dalam Islam. Khulu' hanya dapat dibenarkan jika memang ada alasan syar'i yang menguatkannya. Wanita yang mengajukan khulu' tanpa alasan yang dapat diterima secara syar'i mendapatkan ancaman yang sangat serius dalam Islam.

Rasulullah SAW bersabda, "Wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan apa-apa, maka haram baginya mencium wanginya surga." (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dishahihkan al-Albani). Riwayat lain juga menyebutkan, "Istri-istri yang minta khulu’ dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik." (HR Tirmidzi).

Kendati ancaman bagi wanita yang ingin khulu' atau fasakh begitu mengerikan, namun hal ini bukan tak boleh jika memang ada alasan yang kuat. Seorang istri boleh meminta cerai karena adanya pelanggaran hak-haknya yang membahayakan kehidupannya jika tetap hidup bersama suaminya itu.

Dalam Islam, ada beberapa uzur syar'i yang menjadikan istri boleh mengajukan khulu' atau fasakh kepada suaminya. Misalkan, si suami sudah lama menghilang tiada kabar berita. Si istri yang tidak ridha boleh mengajukan khulu' ke pengadilan agama. Hal ini berdalil dari taqrir Umar bin Khattab RA semasa menjadi khalifah.

Umar pernah didatangi seorang wanita yang ditinggal suaminya tanpa kabar berita. Umar memintanya menunggu selama empat tahun. Setelah itu, wanita tersebut diperintahkan untuk menunggu masa iddahnya selama empat bulan 10 hari. Setelah selesai iddahnya, umar pun mengabulkan khulu' dari wanita tersebut.

Syaikh Ibnu Jibrin berpendapat, ada banyak alasan bagi wanita untuk mengajukan khulu' atau fasakh. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berat juga dianggap memiliki alasan syar'i dalam mengajukan khulu'.

Demikian juga jika si suami ternyata mempunyai akhlak tercela, kelainan seksual, hobi melakukan dosa besar seperti berzina dan mabuk-mabukan, atau menentang aqidah Islam. Suami tersebut secara yakin dan logis harus dikhulu' atau fasakh.

Demikian pula suami yang tak menafkahi kebutuhan pokok istrinya seperti makanan dan pakaian, padahal dia mampu. Sama halnya suami yang tak memberi nafkah batin baik karena penyakit seksual atau sengaja diterlantarkan. Alasan-alasan ini bisa menjadi uzur syar'i dalam pengajuan khulu'. Atau yang lebih parahnya lagi, suami murtad, seperti dijelaskan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975.

Disamping itu, ada pula kondisi dimana sebuah rumah tangga yang jika dipertahankan bisa membawa si istri pada kekufuran. Si istri tak mencintai suaminya karena ada cacat fisik, sehingga ia benci untuk menjalankan kewajibannya sebagai istri atau menunaikan hak-hak suaminya dengan baik.

Hal ini berdalil dari kisah istri Tsaabit bin Qais yang datang kepada Rasulullah SAW. Ia mengaku tak mencela akhlak atau agama suaminya. Tapi ia khawatir akan berbuat kekufuran dalam Islam karena tak sanggup menunaikan hak suaminya. Ibnu Hajar dalam Fathul Barri menerangkan, Tsaabit bin Qais adalah laki-laki berwajah buruk sehingga istrinya merasa jijik jika melihatnya.

Terkait hal ini Rasulullah SAW menerima khulu' dari istri Tsaabit bin Qais. Rasulullah SAW bersabda, "Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu)?".

Istri Tsaabit pun mengiyakan. Maka Rasulullah SAW memerintahkan Tsaabit untuk menceraikan istrinya. "Terimalah kembali kebun itu, dan ceraikanlah ia," sabda Rasulullah SAW. (HR Bukhari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement