REPUBLIKA.CO.ID, SOLO— Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengaku pascapengabulan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan Muhammadiyah terhadap UU Migas No 22 Tahun 2001 dan UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Muhammadiyah kerap mendapatkan 'tekanan' dari negara asing.
Din yang berbicara saat membuka Seminar Pra-Muktamar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo, (14/4) itu mengatakan, sejumlah perwakilan negara antara lain dari Amerika Serikat, Inggris dan Prancis bahkan sengaja mengunjunginya untuk mempertanyakan lantas keberatan dengan upaya Muhammadiyah tersebut."Dalam bahasa diplomasi itu ancaman," katanya.
Padahal, ungkap Din, 'jihad konstitusi' Muhammadiyah tersebut sejalan dengan UUD 1945 dan berangkat dari semangat menegakkan konstitusi dan menjaga kedaulatan negara. Dengan dikabulkannya gugatan kedua UU tersebut oleh MK, maka pendayagunaan migas dan air, manfaatnya harus benar-benar dirasakan rakyat.
Menurut Din, sejak reformasi terdapat 115 produk UU yang dianggap merugikan umat Islam dan juga rakyat Indonesia serta dapat meruntuhkan kedaulatan negara. Ia menyebut produk UU tersebut sangat kental nuansa Letter of Intent Dana Moneter Internasional (IMF) karenanya mendesak untuk segara direvisi. .”Butuh 20 tahun untuk mengoreksinya,” katanya
Bahkan, dalam waktu dekat Muhammadiyah akan kembali mengajukan gugatan ke MK tiga UU sekaligus yaitu UU Penanaman Modal Asing No 25 Tahun 2007, UU No 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa, dan UU No 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.