REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah pra-Islam, menggoreskan tinta merah bagi nasib kaum Hawa. Mereka mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi. Mereka hanya dijadikan objek tanpa mendapatkan hak-hak sipil.
Dalam peradaban Yunani kuno, khususnya masyarakat Athena, wanita tak mempunyai banyak peran dalam kehidupan sehari-hari. Para wanita mendapatkan batasan di segala bidang.
Menurut Nikolaos A. Vrissimtzis dalam Erotisme Yunani mengungkapkan seorang wanita bisa saja mempunyai kedudukan yang tinggi. Namun ia harus menjadi seorang pelacur (hetairai). Bisa dikatakan, pemerintahan Athena pun, saat itu tak melarang merebaknya prostitusi.
Untuk menjadi hetairai, cantik saja tak cukup. Wanita penghibur ini harus berpengetahuan luas. Ia harus mengerti banyak puisi-puisi, filsafat dan politik. Selain itu, ia harus pandai bermain sejumlah alat musik seperti, flute, tamborin, kastanet, dan lyre. Keahlian wajib lainnya yaitu, hetairai harus pandai menari. Inilah yang membedakannya dengan wanita penghibur biasa.
Sue Blundell dalam bukunya Women in Ancient Greece menuliskan, kaum lelaki justru menganggap wanita sebagai sumber bencana dan penyakit. Wanita diposisikan sebagai makhluk yang paling rendah. Mereka menganggap wanita sebagai kotoran. Wanita hanya dianggap sebagai barang-barang dagangan.
Baik berstatus sebagai hetairai atau wanita biasa, kaum laki-laki tetap memandang wanita sebagai komoditas. Ditambah merebaknya dongeng klasik yang menceritakan hubungan gelap antara Dewi Aphrodite dan salah seorang manusia. Padahal, sang dewi merupakan istri dari salah satu dewa.
Seorang ahli filsafat Yunani kuno, Socrates berpendapat, “Wanita ibarat pohon beracun, luarnya tampak indah, namun ketika burung-burung pipit memakannya,mereka akan mati sekitar.” Bangsa Yunani kuno menganggap wanita hanya sebagai penghasil keturunan. Juga pengatur rumah tangga. Wanita seperti tak mempunyai hak-hak sipil.
Mengutip Thomas A. J. McGinn dalam Prostitution, Sexuality, and the Law in Ancient Rome, dalam budaya peradaban Romawi, wanita berada di bawah kekuasaan ayahnya. Namun setelah menikah, kekuasaan tersebut beralih ke tangan sang suami. Sayangnya, kekuasaan yang dimaksud bukan sebagai perlindungan. Baik ayah maupun suami mempunyai wewenang menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
Keadaan mengerikan ini terusberlangsung hingga abad keenam masehi. Bahkan, ketika seorang istri mendapatkan penghasilan, maka itu akan menjadi hak keluarga sang suami.
Di era peradaban Mesir kuno, kelahiran tidak melulu menjadi hal yang menggembirakan. Teresa Anne Murphy dalam bukunya Citizenship and the Origins of Women's History in the United States, terlebih jika anak yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan. Anak tersebut dianggap sebagai anak asuh roh-roh jahat. Peradaban ini meganggap wanita sebagai makhluk jahat dan tanda dari setan.
Bagi seorang ayah yang mendapati mempunyai seorang bayi perempuan, ia tak harus mengakui anak tersebut. Ketika seorang istri melahirkan bayi perempuan, ia akan segera membawa ke hadapan suaminya. Ia akan meletakkan bayi tersebut di kaki sang suami.
Bila suami mengangkat dan menggendong bayi perempuannya, maka anak ini akan mengikuti nasab ayahnya. Namun, jika suami membiarkan bayi tersebut, pihak keluarga yang lain akan memungut bayi malang itu. Pihak keluarga bukan ingin mengasuhnya. Melainkan meletakkannya di tempat ibadah atau lapangan kota.
Apabila ada yang memungutnya, maka bayi itu akan menjadi budaknya. Ia yang memungut, kelak berhak memperlakukan bayi itu sesukanya, seperti dijual atau dibunuh. Sayangnya jika tak ada seorangpun yang memungut, bayi itu akan dibiarkan mati dengan sendirinya. Masyarakat Mesir memang sangat berduka dengan kelahiran bayi perempuan.
Perempuan selalu mengalami penyiksaan dalam peradaban Mesir kuno. Terkadang, mereka harus menahan panasnya minyak yang dituangkan ketubuhnya. Laki-laki juga tega mengikat seorang wanita pada seekor kuda, lalu menunggangi kuda dengan kencangnya sampai si wanita meninggal.