Selasa 04 Nov 2014 10:45 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (5)

Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: Antara/Kuwadi/ca
Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam artikel terdahulu dijelaskan makna spiritual Ka'bah atau Baitullah sebagai kiblat umat Islam di dalam menghambakan diri kepada-Nya.

Semua umat Islam di manapun berada harus menghadap ke Kiblat di dalam beribadah, terutama shalat. Bahkan, dikatakan tidak sah shalat atau penyembahan seseorang jika tidak mengetahui dan meyakini kiblatnya.

Doa iftitah yang diikrarkan saat memulai shalat kita berikrar dengan menyebut ayat, “Inni wajahtu wajhiya lillati fatharas samawati wal ardha hanifan musliman wa ma ana minal musyrikin” (Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan). (QS al-An'am [6]:79).

Doa iftitah dan penegasan ayat ini menekankan pentingnya segenap diri kita yang berlapis-lapis ini menghadap (tawajjuh) kepada Allah SWT yang kualitasnya disimbolkan kepada Ka'bah atau Baitullah.

  

Fokus tawajjuh sesuai dengan keyakinan jiwa ditegaskan juga Allah SWT di dalam Alquran, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan, di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS al-Baqarah [2]:144).

Ayat ini juga sesungguhnya menyiratkan sesuatu yang amat dalam bahwa segenap diri kita harus ber-tawajjuh hanya kepada Allah SWT, seperti ditegaskan di dalam ayat dan sekaligus kelanjutan doa iftitah, “Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi Rabbil 'alamin (“… Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”). (QS al-An'am [6]:162).

Diharapkan dengan penunaian haji atau umrah kita sudah menyimpan memori simbolik berupa suasana batin, yaitu bagaimana rasanya kita hadir dan tersungkur di Baitullah, di depan Ka'bah, seolah-olah kita berada di sebuah alam yang amat lain dengan alam syahadah yang selama ini menyelimuti diri kita.

Sungguhpun di sana kita berdesak-desakan karena begitu padatnya umat Islam, tetapi pada saat yang bersamaan kita juga merasakan kelapangan dada untuk mengerti sekaligus memaafkan semuanya, sungguhpun ada di antara mereka yang betul-betul menyenggol dan menyakiti badan tetapi terasa tidak ada dendam dan amarah.

Ini menggambarkan saat orang sedang ber-tawajjuh dengan dengan Tuhannya, semuanya terasa lapang dan tidak ada ganjalan dan sumbatan. Karena itu, sebelum kita menuju ke hadapan Baitullah terlebih dahulu kita menanggalkan simbol-simbol keduniaan dan alam syahadah kita berupa pakaian dan atribut sosial-budaya kita.

Yang tersisa hanya pakaian ihram yang melekat di badan berupa kain putih polos. Ini juga melambangkan bahwa siapa pun yang ingin mencapai puncak tawajjuh ia juga harus menanggalkan atribut keduniawian yang menghijab dirinya selama ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement