Rabu 05 Nov 2014 07:58 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (8)

Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: Antara/Kuwadi/ca
Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ketika Adam dan Hawa diciptakan di surga, keduanya juga mengikuti tradisi ibadah malaikat dalam wujud tawaf mengelilingi miniatur Arasy di Baitul Ma’mur.

Ketika Adam dan Hawa melakukan kekeliruan dengan melanggar larangan Tuhan untuk tidak mendekatan buah khuldi, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Dan Kami berfirman: “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang me nyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.” (QS al- Baqarah[2] :35).

Drama kosmos sudah terjadi dengan sutradara sesungguhnya adalah Allah SWT, pemain utamanya manusia (Adam dan Hawa) dan yang bertindak sebagai pemeran pembantu ialah iblis dan malaikat.

Adam dan Hawa tidak lulus dalam ujian berat itu. Kelanjutan ceritanya disebutkan dalam ayat: “Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampak lah bagi keduanya auratauratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS al-A’raf [7]:22).

Selanjutnya Adam dan Hawa terlempar ke bumi secara terpisah dan kemudian dipertemukan di “puncak pertemuan” (Jabal Arafah). Di sanalah keduanya merasakan penyesalan yang sedalam-dalamnya dan tersungkur memohon ampun kepada Allah SWT. Keduanya terus menerus melantunkan doa penyesalan yang diabadikan dalam Alquran: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS al-A’raf [7]:23).

Spirit ibadah haji sesungguhnya adalah simbol kehambaan manusia terhadap Tuhannya. Tidak ada yang bisa mengangkat seseorang dari keterpurukan selain diri-Nya. Padang Arafah sebagai lambang kelapangan magfirah dan kasih sayang Tuhan kepada siapa pun hamba-Nya yang telah melakukan dosa, sebesar apa pun dan sebanyak apa pun, tidak ada kesulitan bagi Allah SWT untuk memaafkan dosa hamba-Nya.

Suasana batin ini pernah dilukiskan dalam sebuah riwayat: “Apakah hamba-Ku mengira Aku Tuhan yang pelit memberi ampun, sehingga di Padang Arafah ia berdoa tidak Aku maafkan?”.

Dalam hadis lain disebutkan orang yang meraih haji mabrur ia akan terlahir kembali bagaikan bayi yang baru lahir. Subhanallah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement