Oleh: Hafidz Muftisany
Ulama Indonesia lewat Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah memutuskan perkara ini pada 1979.
MUI yang saat itu diketuai oleh HAMKA berpendapat hampir sama dengan keputusan Majma’ul Fiqhil Islamy. Jika sperma dan sel telur berasal dari suami istri, hal itu diperbolehkan sebab termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah agama.
Jika bayi tabung pasangan suami istri dititipkan ke rahim istri lain, hal ini tetap tidak boleh. Alasannya, akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan. Khususnya antara anak dan ibu yang memiliki sel telur dengan ibu yang melahirkannya.
MUI menambahkan, ada pula proses inseminasi buatan dengan sperma suami yang sudah meninggal. Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH Syukri Ghozali berpendapat hukumnya haram. Alasannya, seperti halnya dititipkan ke rahim istri lain, akan muncul masalah nasab terkait ayah dan masalah waris.
MUI juga dengan tegas menyatakan jika inseminasi buatan melibatkan pihak kedua atau ketiga yang tidak ada hubungan perkawinan maka hukumnya sama saja dengan zina. Dengan kaidah mencegah kerusakan, termasuk menghindari zina yang sesungguhnya.
Dasarnya dalam kitab Hikmatul Tasyri’ wal Falsafatuhu terdapat hadis, “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat maka janganlah sekali-kali menyiramkan air spermanya ke kebun (rahim) saudaranya.”
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1981 juga menelurkan fatwa tentang bayi tabung. Secara umum ulama NU sependapat dengan Majma’ul Fiqhil Islamy dan MUI tentang kebolehan jika sperma dan sel telur berasal dari suami istri dan disuntik ke rahim istri.
Titik yang ditekankan oleh NU, yakni apakah cara mengeluarkan mani sang suami muhtaram atau tidak. Muhtaram artinya mani dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syariat. Jika mengeluarkannya dengan cara muhtaram maka ulama NU menghukuminya boleh. Namun, jika tidak muhtaram maka hukumnya haram. Wallahu a’lam.