Rabu 06 Aug 2014 11:28 WIB

Hukum Sunat Perempuan (1)

Khitan pada perempuan adalah makrumah (kemuliaan).
Foto: Bigthink.com/ca
Khitan pada perempuan adalah makrumah (kemuliaan).

Oleh: Hafidz Muftisany

Sunat atau khitan pada perempuan kembali marak diperbincangkan akhir-akhir ini. Terlebih saat pemerintah melalui Ke menterian Kesehatan (Kemenkes) mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1636/Menkes/PER/2010 tentang sunat perempuan.

Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti menilai, ada yang berbeda dalam pelaksanaan su nat perempuan di Indonesia dan Afrika. Tahun 2010, saat Permenkes tersebut dibuat, ada asumsi sunat perempuan dilakukan secara mutilasi, seperti di Afrika.

Sehingga, perlu ada aturan khusus yang mengatur tenaga medis melakukan sunat perempuan. Saat ini dengan dicabutnya Permenkes tersebut, dikhawatirkan tenaga medis akan menolak melakukan sunat perempuan.

Sebenarnya bagaimana Islam memandang sunat atau khitan pada perempuan ini? Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang sunat perempuan pada tahun 2008. MUI menegaskan, khitan baik bagi laki-laki atau perempuan, termasuk fitrah dan syiar Islam.

Khitan pada perempuan adalah makrumah (kemuliaan). Kaidah umum yang diambil yakni mendasarkan kepada hadis riwayat Abu Hurairah RA tentang lima fitrah. Yakni khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur rambut di ketiak, menggunting kuku, dan memotong kumis.

Secara khusus untuk perempuan, MUI mengambil sebuah hadis riwayat Ahmad. “Bahwa Nabi SAW bersabda: Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan.” MUI juga menjelaskan ada perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab soal ini. Mazhab Hanafi, Maliki menyatakan sunah sementara Mazhab Syafi’i menyatakan wajib.

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan, khitan wajib bagi laki-laki. Sedangkan bayi perempuan adalah sebuah kemuliaan dan kebaikan. Tidak ada kewajiban pada mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement