Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan jiwa (al-gina an-nafs).
Islam tidak melarang orang untuk mengumpulkan kekayaan materi, bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif, tetapi tetap efisien dan efektif.
“Dunia adalah cermin akhirat”, demikian kata hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses. Ibadah mahdzah, seperti shalat, zakat, haji, bahkan puasa pun membutuhkan biaya.
Kiat mengatasi suasana batin yang berada dalam kondisi normal ialah memperkuat semangat raja’ dan mujahadah di dalam diri.
Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan khalwat atau takhannus, seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Gua Hira ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping istrinya Khadijah yang kaya, bangsawan, dan serbaberkecukupan.
Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari gua yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan keluarga. Yang paling penting, ada suasana pemisahan diri (uzlah) sementara dari suasana hiruk pikuknya pikiran.
Bisa saja dengan melakukan iktikaf di salah satu masjid, apalagi pada Ramadhan. Di dalam masjid kita berniat untuk beriktikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Alquran lebih banyak, shalat, tafakur, dan berzikir.
Niatkan bahwa masjid ini adalah Gua Hira atau Gua Kahfi yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Khidhir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.
Jika suasana batin dibiarkan berlalu tanpa pernah diselingi dengan rasa fakir, apalagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah di mata Allah. Bahkan, tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak.
Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya, berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baka di akhirat.
Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan sedekah, luruskanlah pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita tafakur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirathal mustaqim.
Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahdzan innallaha ma’ana (Jangan khawatir, Allah bersama kita), Amin.