REPUBLIKA.CO.ID,
Pencantuman sanksi menjamin pelaksanaan peraturan berjalan efektif.
JAKARTA — Draf peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang seragam sekolah diuji publik.
Rancangan peraturan itu merupakan pengganti SK Dirjen Dikdasmen Nomor 100 tahun 1991, yang menekankan kembali bolehnya seragam jilbab.
Kelak permen diharapkan mampu mengatasi persoalan larangan jilbab siswi Muslim yang kini masih terjadi di Bali.
Selain itu, mencegah terjadinya hambatan pada pemakaian jilbab oleh para siswi yang berada di wilayah yang minoritas Muslim.
Sekretaris Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sutanto mengatakan, Senin (5/5) merupakan uji publik tahap pertama. “Sesuai prosedur pembahasannya masih berskala internal,” katanya.
Pada kesempatan ini, Kemendikbud mengundang Dinas Pendidikan dan perwakilan sekolah yang sebagian besar berada di wilayah minoritas Muslim. Mereka, yaitu Dinas Pendidikan Provinsi Bali, Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta.
Rencananya, dalam uji publik tahap-tahap berikutnya, Kemendikbud mengundang sejumlah organisasi Islam.
Di antaranya, Pelajar Islam Indonesia (PII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK).
Mereka tergabung dalam Aliansi Pelajar Mahasiswa Indonesia (APMI). Ketua Pengurus Besar PII Helmy al-Djufri menekankan agar permen itu memuat pendidikan toleransi. Maksudnya, para pelaku pendidikan mau menerima perbedaan agama.
Mereka mesti memberikan kebebasan kepada peserta didik menjalankan ajaran agamanya. Di dalamnya mencakup pemberian izin siswi Muslim berjilbab. Helmy pun mendesak agar peraturan ini kelak menguatkan korelasi tujuan pendidikan dan prosesnya.
Aturan tentang seragam sekolah, misalnya, harus dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan keimanan. “Pencantuman sanksi dalam peraturan menteri ini juga tak boleh diabaikan,” ujarnya. Sebab, sanksi akan membuat peraturan berjalan efektif.
PII akan mengawal agar sanksi tercantum dalam aturan. Dengan adanya sanksi, wibawa peraturan ini nantinya semakin kuat. Jadi, dapat mencegah oknum pejabat, kepala sekolah, dan Dinas Pendidikan di daerah melanggarnya.
Pada uji publik tahap kedua dan ketiga, APMI, termasuk di dalamnya PII bakal dilibatkan. “Soal waktu dan tempatnya, kami masih menunggu konfirmasi dari Kemendikbud,” kata Helmy.
Ia berjanji terus mengawal materi permen agar sesuai kondisi di lapangan. Dengan demikian, tak ada lagi pelarangan terhadap siswi berjilbab. Pernyataannya bukan tanpa alasan. PII telah melakukan advokasi jilbab selama 12 tahun.
Ketua Umum Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Farida Farichah berharap uji materi draf permen tahap satu berlangsung lancar agar penerbitannya dilancarkan pula. “Semoga sesuai target dan tidak ada hambatan atau kendala berarti,” ujarnya.
Sebab pada dasarnya permen yang digodok adalah suara rakyat dan tidak melanggar undang-undang. Tidak ada alasan untuk menghambat apalagi mengulur-ulur waktu penerbitannya. Farida juga mengingatkan, pelaksanaan permen tak semudah membalikkan telapak tangan.
Mendorong kesadaran masyarakat melaksanakan permen atas dasar kesadaran dan toleransi itu tidak mudah. Pascaterbitnya permen, tugas selanjutnya bagi para pelaksana pendidikan, yakni menegakkan peraturan tersebut.
Mereka harus memahami berjilbab merupakan masalah keyakinan individu kepada Tuhannya. Tak boleh dikekang melalui peraturan sekolah. Lewat permen, masyarakat harus diberi pendidikan toleransi agar pengguna jilbab di kalangan minoritas tak merasa terasing.
Salah satu contohnya, kata Farida, tidak sedikit siswi Muslim yang merasa terasingkan, bahkan di-bully. “Jika mereka berjilbab, ada sebagian masyarakat dan teman-temannya mengatainya gundul, berkutu, atau ninja.”