REPUBLIKA.CO.ID, Umumnya ulama-ulama nusantara memperdalam ilmunya di Tanah Suci Makkah. Mereka menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.
Ismatu Ropi dan Kusmana dalam Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia menegaskan, dua daerah Timur Tengah yang paling sering dijadikan tumpuan tempat menimba ilmu keislaman (rihlah ‘ilmiyyah atau thalab al-‘ilm) adalah Haramain (Makkah dan Madinah) serta Kairo.
Posisi Haramain sangat dominan sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Hal ini boleh jadi adalah karena kaum Muslim memandang Haramain sebagai tempat yang memiliki nilai sakral lebih ketimbang daerah-daerah lain. Sedangkan Kairo baru dilirik para pelajar Indonesia sebagai tempat studi mulai pertengahan abad ke-19 setelah sebelumnya terjadi kontak antara murid-murid Jawa dan Universitas al-Azhar sejak akhir abad ke-18.
Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, bergelar Syekh Bayang (1864–1923) adalah seorang ulama asal Pesisir Selatan pada pertengahan abad 19. Ia adalah penulis buku laris yang disebut oleh B.J.O. Schrieke dengan kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penuh moral, yakni Taraghub ila Rahmatillah yang terbit pada 1910.
Pemimpin paham Tarekat Naqsyabandiyah di Padang ini berangkat ke Makkah pada 1903. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ahli tasawuf Syekh Jabal Qubis dan Tarekat Naqsyabandiyah asal Jabal Abu Qubis yang letaknya berseberangan dengan Jabal Quayqian di sebelah timur Makkah dekat dengan Masjidil Haram.
Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menunaikan haji pada 1871 karena diajak sang ayah Syaikh ‘Abdul Lathif. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ia tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Alqurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah yang mengajar di Masjidil Haram.
Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka, seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai gurunya, yakni Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Yahya Al Qalyubi dan Muhammad Shalih Al Kurdi. Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris.