REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah
JAKARTA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin mengkritisi praktik monopoli sumber air bersih oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Swastanisasi sumber air ini dinilai sangat merugikan masyarakat dan umat Islam di Indonesia.
Berbicara kepada Republika, Selasa (11/3), Din mengungkapkan, semakin tahun, krisis air bersih semakin parah.
Krisis air bersih ini diduga terjadi karena sedikitnya penguasaan sumber mata air oleh masyarakat. Sebaliknya, sumber air bersih dimonopoli pihak swasta demi kepentingan komersial.
"Akibatnya, kebutuhan air bersih sedikit yang dikuasai masyarakat, mengganggu kebutuhan air irigasi, bahkan untuk konsumsi masyarakat di dekat sumber air pegunungan pun harus membayar," ujar Din.
Mereka yang dirugikan swastanisasi sumber air ini, lanjut Din, sebagian besar adalah umat Islam yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Padahal, dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dijelaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Artinya, Din menerangkan, apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2. Din mengaku, sudah berkali-kali mengimbau para ulama untuk bersikap kritis atas hal tersebut.
''Saya sudah meminta ulama, khususnya dari Muhammadiyah, untuk menjawab permasalahan yang merugikan umat ini. Dalam waktu dekat, saya pun berharap, ini bisa menjadi pembahasan penting di MUI," terang Din seraya mengoreksi pemberitaan yang mengungkapkan ia mengharamkan air mineral.
Dijelaskan, yang ia kritisi bukanlah kandungan air mineralnya, melainkan proses mendapatkan air mineral tersebut yang memonopoli penguasaan sumber air di masyarakat. "Jadi, kata haram itu bukan definisi syariah kandungan air mineralnya, tapi proses mendapatkannya.''
Terkait hal itu, Direktur Penatagunaan Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum Arie Setiadi Moerwanto mengatakan, berdasarkan UU Nomor 7 /2004, persentase pengambilan sumber mata air untuk industri telah diatur sangat kecil dibandingkan pengambilan air untuk konsumsi dan irigasi masyarakat.
Artinya, bila ada perusahaan air minum kemasan yang mengambil atau menguasai sumber mata air tidak sesuai UU tersebut maka bisa dikenakan sanksi berat.
Karena itu, pihaknya memastikan, tidak ada pihak swasta yang bisa menguasai dan memonopoli sumber air secara sewenang-wenang.
Meski demikian, seperti dikatakannya kepada Republika, Rabu (12/3), Arie mengaku, belum memantau kembali apakah ada perusahaan air minum kemasan yang memonopoli sumber air.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, ada yang perlu diperbaiki dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
"Tidak boleh ada korporasi yang berkuasa mengeruk semua sumber air untuk komersial, sehingga masyarakat tidak boleh menikmati sumber air tersebut," ujar Hatta.