Sabtu 01 Mar 2014 19:05 WIB

Fatwa tentang Miss World di Dunia Islam (1)

Aksi penolakan Miss World di Indonesia.
Foto: Reuters/Supri
Aksi penolakan Miss World di Indonesia.

Oleh: Nashih Nashrullah

Miss World dinilai merendahkan martabat perempuan.

Sejak dihelat perdana pada 1951 di Amerika Serikat, ajang kompetisi Ratu Kecantikan Dunia (Miss World) mendapat respons di banyak kawasan. Tetapi, ajang yang diselenggarakan oleh Miss World Foundation itu pun menuai kecaman dan penolakan oleh beragam komunitas di belahan dunia. Tak terkecuali di Timur Tengah.

Pegiat HAM perempuan di Irak, misalnya, menilai bahwa perhelatan semacam ini adalah bentuk dari perendahan martabat perempuan. Gelombang penolakan pun datang dari komunitas Muslim. Di Irak, kelompok militan Islam pada 2006 pernah mengancam akan membunuh Miss World Irak, akhirnya yang bersangkutan terpaksa kabur ke Yordania.

 

Pada 2002 pro dan kontra Miss World menghantui Nigeria hingga menimbulkan kekerasan fisik. Kelompok Nashr al-Islam memburu seorang jurnalis setempat yang bernama Asyoma Daniel.

Ini akibat artikelnya di media lokal yang sangat melukai umat Islam. Dalam artikelnya itu, wartawan tersebut menulis, seandainya Rasulullah SAW masih hidup, niscaya akan menyetujui acara ini. “Bisa jadi pula menikahi salah satu kontestannya,” tulis Asyoma yang lantas kabur ke luar Nigeria.

Ketidaksetujuan atas penyelenggaraan kontes tersebut juga disampaikan kelompok agama yang lain, seperti Yahudi, Nasrani, dan Hindu. Di India, aksi protes sangat keras menyikapi perhelatan Miss World. Ini setelah pada 1996, Majelis Agama Hindu menentang kontes Miss World.

Lantas, seperti apa pandangan lembaga fatwa di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim terkait Miss World? Lembaga-lembaga fatwa tersebut sepakat bahwa umat Islam tidak boleh menyelenggarakan dan berpartisipasi, entah sebagai fasilitator, peserta, ataupun penggembira dalam kontes yang menekankan paras cantik tersebut.

Pandangan ini seperti disampaikan oleh Dar al-Ifta Mesir, Dewan Ulama Senior Arab Saudi, Majelis al-Ifta Palestina, dan lembaga fatwa masing-masing di Yordania, Lebanon, Libya, Suriah, Tunisia, dan Maroko.

Menurut Syekh Hisamuddin Affanah, kontes ini berseberangan dengan prinsip dan nilai-nilai Islam, sekaligus bentuk taklid terhadap budaya Barat. Ajang itu berpotensi untuk merendahkan martabat perempuan. Paras cantik dan tubuhnya dijadikan sebagai media propaganda dan promosi. “Ini lebih buruk dari jual beli budak,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement