Kamis 20 Feb 2014 11:44 WIB

Memadukan Budaya Islam dan Jawa (1)

Masjid Agung Keraton Surakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Andika Betha
Masjid Agung Keraton Surakarta (ilustrasi)

Oleh: Afriza Hanifa

Islamisasi Mataram melahirkan Islam Kejawen yang hingga kini masih dianut sebagian masyarakat.

Saat Mataram berkuasa, tanah Jawa telah mengenal Islam berkat Islamisasi yang gencar dilakukan Kesultanan Demak dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya.

Pascakesultaan Demak, estafet dakwah sempat diambil alih Kerajaan Pajang kemudian dipegang Kerajaan Mataram. Saat itulah, dakwah Islam di tanah Jawa mengalami era baru.

Meski Demak mampu mengislamkan tanah Jawa, aktivitas keislaman lebih banyak terjadi di kawasan pesisir. Mataramlah yang kemudian melengkapi dakwah Islam di bagian pedalaman. Namun, Demak tentu berbeda dengan Mataram. Meski Demak menggunakan akulturasi dalam dakwah, para wali tetap mempertahankan syariat Islam murni terutama ketauhidan.

Saat Mataram berkuasa, dakwah Islam mulai berubah. Mereka sangat erat memadukan budaya Islam dan budaya sebelumnya. “Dalam segi keagamaan masanya (Sultan Agung) cenderung mengadakan pertimbangan antara Islam dan Hindu,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia.

Sutiyono dan Ahmad Dzulfikar dalam Benturan budaya Islam: Puritan & Sinkretis mengatakan, Kerjaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada di pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-Hindu.

Islamisasi Jawa semakin kuat, dan sebaliknya, Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa, seperti Pasuruan (1617 M), Tuban (1619 M), Surabaya (1625 M), Pati (1627 M), dan Giri (1636 M).

 

Kota-kota itu dihancurkan karena kharisma Islam pesisir yang puritan masih bergema memengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksud politik, yakni pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam sinkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (Kejawaan).

“Dengan demikian, berdirinya kerajaan Mataram berimplikasi pada perubahan dari Islam ortodoks menjadi Islam kejawen (percampuran antara Islam dan paham kejawen),” kata Sutiyono.

 

Dalam buku tersebut juga disebutkan, Islam pada awalnya disebarkan ke Jawa masih dalam bentuknya yang asli. Tetapi, setelah dibawa ke wilayah pedalaman harus menyesuaikan dengan budaya Jawa atau tradisi lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement