Kamis 29 Aug 2024 13:29 WIB

Islamisasi Kerajaan Buton Dalam Tradisi Lisan dan Dokumen Belanda

Islamisasi di Buton menarik untuk diketahui.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Kesultanan Buton ; Pulau Buton ; Bau-Bau ; Baubau ; masjid di Buton
Foto: republika
Kesultanan Buton ; Pulau Buton ; Bau-Bau ; Baubau ; masjid di Buton

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setiap konversi agama memerlukan sebuah pertanggungjawaban kultural. Seperti yang terefleksikan dalam tradisi tulis (babad, hikayat, lontara). Pertanggungjawaban kultural itu juga hidup dalam ingatan kolektif yang tergambarkan dalam bentuk tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. 

Terkait konversi agama atau Islamisasi di wilayah Sulawesi, khususnya wilayah Kerajaan Buton di Sulawesi Tengah menarik untuk diketahui. 

Baca Juga

Merujuk pada Hikayat Patani, terungkap bahwa pada tahun 1564, seorang bernama Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Patani mengadakan perjalanan dari Patani (di Thailand) ke Buton di Sulawesi Tengah. Setibanya di Buton, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Patani mulai menyerukan agar penduduk setempat memeluk Islam. 

Sebuah tradisi lisan lokal yang dihimpun Abubakar (1980:25) menjelaskan hal sejenis. Berikut kisahnya:

"Ketika fajar menyingsing dan manakala matahari akan tenggelam, seorang di antara mereka meraung-raung di atas perahunya, lalu berbanjarlah (berbarislah) orang-orang, sedang di muka berdiri seorang kemudian membungkuk, menundukkan kepalanya di atas papan geladak perahu dan diakhiri menengok ke kanan dan ke kiri lalu bersalam-salaman." 

"Perilaku yang dianggap aneh itu selanjutnya dilaporkan penduduk setempat kepada raja (Raja Buton). Mendengar laporan mengenai peristiwa itu, Raja Buton justru memerintahkan agar mereka dibawa ke istana. Setelah itu, Raja secara langsung menyatakan keinginannya untuk mengikuti ajaran dari pendatang itu. Sejak itulah, proses konversi (islamisasi) berlangsung besar- besaran di wilayah tersebut."

Masih terkait tradisi lisan di Buton, ada sebuah riwayat yang berhasil dengan sangat baik didokumentasikan oleh seorang pejabat Belanda, yang mengungkapkan secara rinci mengenai masuknya Islam di Buton. Demikian riwayatnya seperti dituturkan oleh Laode Mizan, Lakina Agama di Muna pada 1928 dalam Cauvreur, Ethnografisch Overzicth van Moena, 1935.

“Bahwa inilah riwayat dari kita poenja toeroen temoeroen dikisahkan orang-orang toea pada anak tjoetjoenja sehingga dewasa ini. Sedemikianlah boenjinja: Awaloekalam pada masa Radja Boeton jang ke-VI bernama Lakina La Ponto bertachta keradjaan maka kira-kira tahoen 940 Hidjrah an Nabi, maka datanglah seorang goeroe bernama Abdul Wahid dengan dia poenja istri bernama Wa Ode Solo dan seorang anak laki-laki Ledi Penghoeloe moesyafir keradjaan Boeton. Maka bertemoelah dengan Radja Boeton laloe bersahabat."

"Goeroe itu seorang keramat serta menerangkan tantangan dirinya: saja ini kelahiran Mekkah, toeroenan Sajid, tjoetjoe Nabi Muhammad SAW. Saja ada toeren di negeri Djohor, laloe berangkat ke negeri Solo, achirnja berangkat ke Barangasi masoek di negeri Boeton."

"Maksoed saja adalah membawa Igama Islam di negeri ini dengan penghadapan soepaja Radja Boeton masoek memeloek Igama Islam. Terdahoeloe diminta akan kawin dengan seorang familinja Radja, kedoeanja akan mendirikan Masjid. Laloe mengadjar anak negeri tentang Igama Islam."

"Diterangkan lebih djaoeh bahwa Radja Boeton poen setelah mendengar chabar Radja Solo, Radja Djawa, dan Radja Bone telah memeloek Igama Islam, maka Radja poen masoek Islamlah djoega. Sjandan maka dihikayatkan peri Radja Boeton dengan menteri dan wasir-wasirnja memeloeklah Igama Islam dan dikawinkan goeroe itoe dengan seorang perempoean nama Wa Ini Tapi-Tapi, kemoedian diperdirikanlah mesjid dan Goeroe itoe diangkat menjadi Goeroe Igama Islam dalam keradjaan Boeton. Laloe diperdirikan seboeah roemah jang besar oentoek roemah pergoeroean Igama Sedemikianlah sampai tahoen 948 Hidjrah an Nabi."

Dalam perkembangannya, selain melalui beberapa tradisi lisan seperti di atas, konversi masyarakat Buton ke dalam Islam juga diperkuat oleh munculnya mitos-mitos terkait Islam. Salah satu mitos yang begitu melekat di ingatan masyarakat terkait proses Islamisasi adalah mitos tentang migrasi sekelompok orang yang datang dari Johor. Kelompok pendatang ini dipimpin oleh empat orang (Mia Patamiana) yang kala itu membuka lahan untuk pemukiman dengan cara menebangi kayu-kayu yang kemudian disebut sebagai welia (Wolia). Mitos Wolio inilah yang dikemudian hari dipercaya masyarakat sebagai sebuah bagian dari proses Islamisasi masyarakat Buton.

Tentang mitos ini, dikisahkan bahwa konon datanglah seorang musafir Arab yang diperintah Rasulullah Muhammad SAW untuk berlayar ke timur guna mendapatkan sebuah pulau yang sudah lama merindukan kedatangan Islam. Setiba di pulau itu, musafir menaruh jubahnya di suatu tempat. Maka jubah itu segera menjadi pusat perhatian penduduk. Untuk sekian lama mereka mengintai jubah, siapakah gerangan pemiliknya. Sementara itu, di cabang pohon bertengger tujuh burung sambil berterbangan satu per satu menyuarakan “butuni.” 

Maka bersujudlah penduduk setempat setelah melihat si pemilik jubah yang dianggap sebagai Waliulloh (Pesuruh Tuhan). Dari kata Waliulloh inilah kemudian dikenal kata Wolio, sebutan lain untuk Kesultanan Buton. Demikian, dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement