REPUBLIKA.CO.ID, Abu Na'im seperti dinukilkan oleh as-Suyuthi dalam al-Khasais al-Kubra, mengatakan, gambaran perempuan sebagaimana disinggung hadis di atas, seperti biduan di Irak. Mereka menggunakan sanggul kepala yang besar, lantas meletakkan jilbab di atas kepala mereka. Sementara, aurat mereka di bagian telinga atau leher tetap terlihat.
Sebagian cendekiawan Muslim di era salaf, juga membedakan antara gulungan rambut yang diletakkan tepat di atas kepala atau yang berada sedikit ke belakang tepat di kepala bagian belakang. Menurut al-Qanuji, jika yang kedua maka diperbolehkan seperti penegasan hadis dari Ummu Salamah, berbeda dengan yang pertama yaitu di atas kepala. Apalagi bila ditambahkan dengan aksesoris agar tampak lebih besar. ”Ini tidak boleh,” kata dia.
Karena itu, hadis tersebut bukan bermakna pelarangan jilbab “punuk unta” seperti pemahaman kelompok pertama. Akan tetapi, yang indikator pelarangan itu ialah penyerupaan tata cara berpakaian dengan laki-laki, yaitu memakai sorban dan gulungan rambut di atas kepala.
Ini seperti penegasan an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Syarah al-Muhaddzab. Imam al-Hajawi dalam al-Iqna' juga menegaskan hal yang sama. Menurut dia, indikator larangan tersebut ialah penyerupaan cara berpakaian perempuan dengan laki-laki. “Ini haram hukumnya,” kata dia. Dengan demikian, selama indikator itu tidak terpenuhi, pada dasarnya bentuk jilbab seperti ini, diperbolehkan dengan tetap menjaga ketentuan seperti tidak dimaksudkan untuk berglamor ria dan mengumbar kecantikan.