REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Acara di radio membuatnya tertarik mempelajari Islam lebih dalam.
Hartono (25 tahun) lahir dari keluarga Islam. Namun, ia besar tanpa pendidikan agama. Hal ini membuat jiwanya kosong.
Ia mengaku selama itu ia tak pernah mendalami Islam secara sungguh-sungguh. “Saya blank sama sekali tentang Islam,” ujarnya kepada Republika lewat sambungan telepon, pekan lalu.
Ia merasa pemahaman agamanya sangat dangkal. Tak hanya sekali ia mempunyai pikiran untuk keluar dari Islam karena ia merasa tak pernah bisa memetik apa pun selama menjadi Islam.
Saat remaja, kekosongan jiwanya ini semakin memuncak. Ia banyak bergaul dengan orang-orang di luar Islam karena ia merasa lebih cocok.
Melalui internet yang sedang booming di kota tempat tinggalnya, Yogyakarta, ia mendapatkan banyak informasi tanpa filter.
Ia kemudian mengenal lebih jauh tentang agama lain selain Islam. Salah satu yang membuatnya tertarik kala itu adalah agama Buddha.
Ia merasa cocok dengan agama Buddha. Hartono banyak membaca dan mempelajarinya lebih lanjut. Selama empat tahun ia tekun mempelajari agama ini dan banyak mempraktikkan ritual-ritual yang dilakukan oleh para pemeluknya.
Ia melakukan meditasi, percaya pada prinsip jalan kebenaran melalui delapan ruas kemuliaan, percaya dengan orang harus bisa benar dalam pandangan, pikiran, dan perkataan, serta percaya dengan hukum-hukum agama Buddha.
Ia pun mengambil keputusan bulat ingin berpindah agama. Ia ingin masuk menjadi pengikut Buddha. Namun, orang tuanya melarang keras dengan apa yang dilakukannya.
Meski mereka bukan Muslim yang rajin beribadah, mereka tak mau anaknya pindah agama dan mencoreng nama baik keluarga. Bahkan, mereka mengancam akan mengusir Hartono dari rumah jika berani nekat berpindah agama.
Hartono remaja kala itu merasa gundah. Akhirnya, ia memutuskan tetap mantap pada kepercayaan Buddha meski statusnya di KTP Islam.
Ketika di sekolah, ia mengikuti pelajaran agama Islam dengan tak acuh, hanya mencatat, dan tidak bisa memahami apa yang dibicarakan oleh guru agamanya.
Ketika ujian agama berlangsung, ia mati-matian belajar menghafal surat-surat pendek, bacaan shalat, serta praktik shalat jenazah dalam waktu dua minggu.
Meski tak mendapatkan nilai bagus dalam pelajaran agama Islam, yang penting ia bisa merasa lega bisa lulus.
Usianya semakin bertambah, kemantapan hatinya pada Buddha pun semakin meningkat. Meski di KTP tertulis beragama Islam, ketika ia ditanya temannya mengapa tidak shalat, Hartono akan dengan mantap menjawab bahwa ia percaya dengan Buddha.
Dan, alasan mengapa ia tetap Islam di KTP karena ia takut kepada orang tuanya yang nanti akan mengusirnya jika ia berpindah agama.
Ia bahkan pernah menelepon salah satu vihara Buddha yang berada di Malang, Jawa Timur. Ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk masuk ke agama Buddha pada salah satu pemuka yang diteleponnya, ia kaget dengan jawaban yang diberikan.
“Biksu tersebut justru bilang, jika saya pindah ke Buddha, berarti saya belum benar-benar memahami Islam. Dengan panjang lebar ia menjelaskan semua agama itu baik dan menyuruh saya untuk memahami Islam lebih dalam lagi,” katanya menjelaskan.
Selama mempelajari agama lain, ia tak jua mendapatkan ketenangan jiwa. Bahkan, ia merasa hidupnya sangat sulit. Berbagai musibah singgah kepadanya, juga rezeki yang sangat sulit ia temukan.
Ketika ia mendapatkan rezeki, ia selalu merasa tidak sebanding, dan kemudian langsung cepat habis entah ke mana tanpa ia sadari.
Hingga suatu hari, secara tak sengaja ia mendengarkan radio. Sebuah stasiun radio menyiarkan acara MTA (Majelis Tafsir Alquran).
Ia tertarik mendengarkan ceramah Ustaz Sukino dari Surakarta yang memberikan penjelasan pada pertanyaan dari para pendengar.
Ia kagum dengan sang ustaz yang bisa menjawab mantap semua pertanyaan dengan memuaskan. Ia merasakan hatinya menjadi tenang setelah mendengarkan acara radio tersebut. Peristiwa ini terjadi sekitar enam bulan yang lalu.
Acara tersebut membuatnya penasaran. Ia kemudian mencari lebih lanjut sosok sang ustaz dan konsep acara tersebut. Melalui internet, khususnya Youtube, ia menemukan banyak hal yang membuka hatinya. “Saya merasa mendapatkan hidayah,” ujarnya.
Saat itu, terdengar azan maghrib berkumandang. Setelah itu, ia pun mengambil air wudhu dan ikut shalat berjamaah di masjid dekat rumahnya. “Saya lupa semua bacaan shalat, yang saya ingat hanya al-Fatihah. Saya hanya mengikuti gerakan imam dan jamaah lainnya. Saya menangis di akhir sujud saya,” kata Hartono.
Ia sadar, Islam ternyata tak seperti yang dibayangkannya selama ini. Banyak yang belum ia pahami dan gali dari Alquran. “Selama ini saya hanya menuruti ego dan emosi saya, saya terlalu arogan dan tak pernah mengkaji lebih dalam,” akunya.
Ia merasa dilapangkan jalannya untuk kembali menuju Islam. Hartono pun mencari tahu lebih banyak tentang Islam sebenarnya dan ia puas ternyata semua pertanyaannya bisa ia temukan jawabannya melalui tafsir Alquran dan hadis.
Ia pun rajin mengikuti pengajian dan banyak bertanya tentang apa pun yang membuatnya ragu tentang Islam selama ini. Mempelajari Islam kembali, kali ini lebih meresap ke jiwa, membuat hatinya tenang, lebih adem ayem.
Jalannya kembali ke Islam itu membuat hidupnya semakin baik. Ia merasa ketika memahami Islam sepenuhnya, itu bukan berarti hanya melakukan shalat dan dipamerkan kepada orang lain. Sebab, Islam lebih dari itu.