Kamis 24 Jan 2013 09:16 WIB

Hati-hati, Jangan Asal Mengafirkan (1)

Rep: Susie Evidia/ Red: Endah Hapsari
Berbeda boleh, tapi ukhuwah yang utama.
Foto: NET
Berbeda boleh, tapi ukhuwah yang utama.

REPUBLIKA.CO.ID, Tampaknya, ada yang beranjak hilang dari etika persaudaraan internal Muslim, yaitu tentang fikih perbedaan. Hanya lantaran berbeda pandangan, vonis kafir begitu mudah dilayangkan. Di paruh kedua abad ke-20 ini, fenomena pengafiran (takfir) antarsesama Muslim meningkat. Baik di tingkat individu atau kelompok. Padahal, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Yunahar Ilyas, tindakan semacam ini tidak bisa dibenarkan. Vonis kafir terhadap seseorang harus dijatuhkan karena alasan dan dasar yang kuat dan sesuai syariat.

Menurutnya, jika sekadar klaim dan menghukumi serampangan maka bisa berdampak bumerang bagi dirinya sendiri. Siapa tahu, masih terdapat keimanan dalam diri orang yang tertuduh. Ia mengatakan, kafir dari segi bahasa berasal dari kata kafara yang berarti menutupi.  Artinya, mereka yang telah menutupi hatinya dari keimanan, itu baru kafir. Ilmu tauhid membagi kafir menjadi dua, yaitu kafir i'tiqadi. Kategori ini meliputi mereka yang keluar dari Islam, tidak percaya rukun Iman dan rukun Islam. Kedua kafir amali yaitu perbuatan yang menunjukkan keingkaran, tapi tidak keluar dari Islam.

Seperti orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat disebut kufur nikmat. Mereka ini tetap Islam, tapi perbuatannya menunjukkan keingkaran. Man baa akhahu kafiran faqad kafar. Hadis itu, katanya, tegas menyatakan bahwa mereka yang mengafirkan sesamanya, padahal jelas tudingan itu tak benar, maka kekafiran kembali kepadanya. "Jadi jangan terlalu cepat mengafirkan orang lain," katanya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement