REPUBLIKA.CO.ID, Walinya adalah orang yang terdekat dengan si perempuan yang berasal dari pihak laki-laki.
Dalam Islam, salah satu faktor utama dalam pernikahan adalah wali, yakni orang yang akan menikahkan mempelai perempuan.
Mayoritas ulama berpendapat, keberadaan wali adalah mutlak (harus ada). Jika tidak ada wali, maka dianggap tidak ada pernikahan.
Apakah wali nikah itu termasuk syarat atau rukun, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan, wali nikah termasuk syarat pernikahan, namun ada pula yang memasukkannya dalam rukun nikah.
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya. (QS al-Baqarah [2]: 232).
Mayoritas ulama memasukkan status wali ke dalam syarat pernikahan. Keberadaan wali dianggap sama dengan status saksi. Kendati merupakan syarat, maka ia (wali) harus ada. Dan dianggap tidak sah, bila tidak ada wali atau saksi.
Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali. (HR al-Khamsah kecuali an-Nasa’i, disahihkan Syekh Nasiruddin Al-Albani dalam al-Irwa` no 1839).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR Abu Dawud no 2083, disahihkan Syekh Nasiruddin Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud).
Siapakah yang berhak menjadi walinya perempuan? Para ulama menetapkan, yang paling berhak menjadi wali adalah ayah si perempuan. Para ulama membagi wali dalam dua jenis, yakni wali nasab (orang yang memiliki garis keturunan), dan wali hakim (orang yang ditunjuk apabila tidak ada wali nasab).