Jumat 14 Sep 2012 19:30 WIB

Hukum Bedah Plastik (3)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Bedah plastik (ilustrasi).
Foto: medicalretreatabroad.com
Bedah plastik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Menurut Abdus Salam. kebolehan melakukan bedah tersebut harus memenuhi dua syarat berikut:

1. Bahan yang dipakai untuk menambal atau menutupi cacat, seperti kulit, tulang, maupun anggota tubuh lainnya, harus berasal dari tubuhnya sendiri atau dari seseorang yang baru saja wafat.

Kebolehan mengambil kulit, tulang, atau daging orang yang baru saja wafat merupakan hasil analogi dari pendapat ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali yang membolehkan memakan daging mayat dalam keadaan darurat, yakni sekadar untuk menghindarkan diri dari kematian.

Apabila kulit, tulang, dan daging yang dipergunakan untuk bedah perbaikan cacat tersebut berasal dari orang hidup maka tindakan itu tidak dibenarkan oleh syariat Islam.

Karena kaidah fikih mengatakan "menghindari dharar dari seseorang tidak boleh menimbulkan dararpada orang lain”. Artinya, jika kulit, tulang, atau daging orang lain yang masih hidup yang diambil untuk bedah plastik berarti memberi mudarat kepada orang lain. Hal seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat Islam.

2. Dokter yang melakukan bedah harus merasa yakin bahwa hasilnya akan positif. Artinya, tujuan pembedahan itu akan tercapai. Syarat ini sangat penting, menurut Wahbah Az-Zuhaili dan Hasanain Muhammad Makhluf, ahli fikih Mesir, khususnya jika kulit, tulang, atau daging yang dipergunakan untuk bedah plastik itu adalah milik orang lain (mayat).

Ada kemungkinan bahwa seseorang yang diambil kulit, tulang, atau dagingnya itu mengidap suatu penyakit yang sulit dilacak, sehingga tujuan dari pembedahan itu tidak tercapai, malah menimbulkan kemudaratan bagi orang yang menjalani bedah karena ia akan menderita sepanjang hidupnya, disebabkan penyakit yang berasal dari bahan yang dipakai untuk memperbaiki cacatnya.

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement