Selasa 28 Aug 2012 10:34 WIB

Sejarah Khitan (1)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Seorang bocah saat dikhitan.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Seorang bocah saat dikhitan.

REPUBLIKA.CO.ID, Allah itu Mahaindah, dan sangat menyukai keindahan. Demikian hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap keindahan dan kebersihan.

Sebab, bersih itu berarti sehat, dan rapi itu berarti indah. Islam sangat membenci segala keburukan dan kekumuhan.

Karena itu, dalam banyak hal, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa membersihkan diri, baik dengan mandi, berwudhu, maupun bertayamum. Tujuannya agar bersih secara fisik. Sedangkan supaya bersih psikis (kejiwaan), umat Islam diperintahkan untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.

Salah satu ajaran Islam yang disyariatkan kepada pemeluknya adalah berkhitan, atau memotong sebagian kulit yang menutupi alat kemaluan laki-laki atau perempuan. Secara bahasa, kata ‘khitan’ berasal dari bahasa Arab, yakni khatana yang berarti memotong atau mengerat.

Sedangkan menurut istilah, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, khitan adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar atau kemaluan laki-laki dan membuang bagian dari kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva di bagian atas kemaluan perempuan.

Khitan dikenal di berbagai belahan dunia, seperti di benua Amerika, Australia, dan Afrika. Di Indonesia, istilah khitan ini juga dikenal dengan istilah sunat. Kebiasaan sunat (khitan) ini telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Ini berdasarkan hasil pengamatan dari gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba.

Namun, alasan khitan ini pada masa itu belum diketahui secara jelas. Tetapi, beberapa pendapat memperkirakan bahwa tindakan khitan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang Mahakuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement