REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Islam menganjurkan umatnya yang lelaki untuk disunat atau khitan. Hal ini dilakukan dengan membuang sebagian kulit kemaluan untuk kesehatan.
Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis“.
Situs arkeologis di Mesir menunjukkan bahwa khitan terekam sejak masa dinasti keenam pada periode 2345-2181 Sebelum Masehi. Situs itu berada di pekuburan Menteri Ankh Ma Hor di Saqqara.
Situs itu menggambarkan lelaki dalam posisi berdiri. Satunya lagi duduk atau jongkok memegang kemaluan pria, mengindikasikan melakukan khitan.
Dalam tradisi Mesir kuno, khitan memiliki dua manfaat. Pertama agar seorang lelaki lancar buang air kecil dan terhindar dari penyakit infeksi kemaluan.
Kedua, mengurangi risiko penyakit seksual.
Meski mengandung manfaat, khitan tercatat memiliki risiko, yaitu infeksi dan pendarahan. Namun hal itu tidak umum terjadi di kalangan firaun.
Khitan pada masa Nabi Ibrahim
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW dan penjelasan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Jauziyah, khitan pertama disyariatkan kepada Nabi Ibrahim dan para nabi sesudahnya.
Bukan pada masa anak-anak, Nabi Ibrahim menjalani khitan pada umur 80 tahun. Masa yang sudah lanjut usia. Lokasi khitan Nabi Ibrahim adalah di sebuah daerah yang bernama al-Qadum.
Imam Bukhari menerangkan, Al-Qadum (tanpa tasydid) adalah nama suatu tempat. Begitu pula Imam Al-Marwazi mengatakan, Abu Abdillah pernah ditanya benarkah Nabi Ibrahim AS mengkhitan dirinya? "Dia menjawab, "Di ujung al-Qadum."
Imam Abu Daud, Imam 'Abdullah bin Ahmad dan Harb mengatakan orang-orang pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang Sabda Rasulullah SAW "Ikhtatana bil Qadum." "Dia pun menjawab. "Al Qadum adalah satu tempat."
Sekelompok ulama lainnya mengatakan, orang yang meriwayatkan kata Qadum dengan takhfif berarti nama tempat. Ada pula riwayat yang menyebutkan dengan tasydid yang berarti nama alat. Ibnul Qayyim mengatakan, nemang, kisah Nabi Ibrahim Al Khalil AS diriwayatkan dengan berbagai lafaz sebagian di antaranya ada yang memberi kesan saling bertentangan.
"Padahal alhamdulillah tidak ada pertentangan," katanya.