Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ibnu Arabi lebih menekankan aspek Alquran, yang secara harfiah bisa berarti menghimpun (al-qur'), seperti yang dipopulerkan Nabi Muhammad SAW. Bukannya menekankan aspek "al-Furqan", yang secara harfiah berarti membedakan, sebagaimana dipopulerkan Nabi Musa AS.
Perbedaan antara kedua istilah tersebut adalah Alquran mengandung al-Furqan, sedangkan al-Furqan tidak mengandung Alquran. Yang pertama lebih fokus pada prinsip titik temu dan yang kedua lebih pada aspek perbedaan dan negasi. Dalil yang diajukan Ibnu Arabi cukup menarik, yaitu ayat yang juga digunakan teolog dan kaum sufi.
Ia mengutip, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Syura: 11). Potongan ayat pertama (tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) dijadikan dalil oleh ahli tanzih karena menerangkan aspek ketakterbandingkan.
Sedangkan, potongan ayat kedua (Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat) dijadikan dalil oleh ahli tasybih karena lebih menekankan persamaan, yaitu makhluk-Nya juga bisa mendengar dan melihat. Menurut Ibnu Arabi, ayat ini menjadi bukti kualitas tanzih dan tasybih tidak bisa dipisahkan dan dipertentangkan.
Implikasi sosial keagamaan dari konsep penggabungan tanzih dan tasybih ialah keutuhan pribadi Muslim yang berkeseimbangan antara aspek keagungan dan aspek keindahan. Satu sisi, Tuhan transenden, jauh, Maha Kuasa, dan Maha Penghukum, tetapi pada sisi lain Dia juga immanen, dekat, Maha Lembut, dan Maha Penyayang.
Penyatuan konsep tanzih dan tasybih bisa memberikan optimisme kepada para pendosa bahwa sebesar apa pun dosa hamba, pengampunan Tuhan jauh lebih besar.
Sebaliknya, juga memberikan peringatan kepada orang yang merasa baik agar tidak lengah. Sebab, jika yang datang adalah Tuhan Yang Maha Adil, akan berlaku ayat, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihatnya (balasan). Dan, barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihatnya (balasan)." (QS. Al-Zalzalah: 6-7).
Dengan demikian, maksud Huwa la Huwa ialah keutuhan antara tanzih dan tasybih di dalam keyakinan dan perilaku. Ahli tanzih kiranya tidak begitu gampang menyalahkan ahli tasybih, demikian pula sebaliknya. Ahli syariat dan ahli tarekat sama-sama memiliki kemuliaan, namun yang lebih baik ialah mengintegrasikan keduanya.
Seperti yang dipesankan oleh Ibnu Athaillah, "Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih, maka ia zindiq. Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf, maka ia fasik. Barang siapa menggabung keduanya, maka ia mencapai hakikat. Wallahua'lam.