REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Devi Anggraini Oktavika
Pedagang Arab dan Swahili datang ke Mozambik jauh sebelum Vasco da Gama.
Islam telah bersemi di bumi Mozambik sejak abad ke-10 M/4 H. Jejak hadirnya Islam di Afrika bagian tenggara itu dapat ditelusuri melalui rekaman sejarah. Berdasarkan catatan sejarah, kawasan yang berbatasan dengan Lautan India di sebelah barat itu, sudah sering dikunjungi para musfir dan pedagang Muslim sejak abad pertengahan.
Perdagangan budak Arab mulai masuk ke Mozambik pada masa itu, ketika Muslim mendirikan emirat-emirat di pantai Afrika Timur. Sepanjang periode itu, para saudagar budak Muslim memperluas bisnis perdagangan manusia ke arah selatan di sepanjang wilayah pantai. Perluasan itu terjadi selama periode Dinasti Omani Al Bu Said.
Sejak Kesultanan Kilwa didirikan pada abad ke-10 oleh Ali bin al-Hassan Shirazi, Islam menjadi agama mayoritas, termasuk di wilayah yang kini bernama Mozambik. Kota pelabuhan bernama Sofala begitu masyhur karena menjadi pusat perdagangan budak, gading, emas, dan besi, yang dilakukan dengan negara-negara Islam Timur Tengah dan India.
Sofala dan sebagian besar wilayah pantai Mozambik kala itu adalah bagian dari Kesultanan Kilwa sejak kedatangan Arab, diyakini terjadi pada abad ke-12 M. Memauski pertengahan abad ke-15, kesultanan-kesultanan berbasis agama dan komersial yang bersifat permanen banyak berdiri di sepanjang wilayah pantai. Sebagian bahkan mencapai Zambezi. Kala itu hampir seluruh penduduk kota Sofala adalah Muslim, bahkan sebelum kedatangan Portugis pada 1505.
Dalam laman africa.com disebutkan, pedagang India, termasuk Muslim dari Pantai Barat India (Malabar), telah berdagang dengan para pedagang di Pantai Timur Afrika jauh sebelum kedatangan Portugis. Saat Vasco da Gama sampai di Mozambik pada 1498, ia menemukan negara tersebut terbagi menjadi dua bagian.
Keduanya adalah suku kulit hitam Afrika yang mendiami wilayah pendalaman, dan pedagang Arab serta Swahili yang menghuni wilayah pesisir tengah dan utara. Dua kelompok terakhir adalah kelompok kaya yang telah memeluk Islam.
***
Menurut S Von Sicard dalam Islam in Mozambique: Some Historical and Cultural Perspectives, sejarah Islam di Mozambik dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: Petama, abad ke-7 hingga 15 M. Kedua abad ke-16M hingga kemerdekaan Mozambik 1975. Ketiga, pasca-kemerdekaan.
Selama periode pertama, keberadaan Muslim terbatas pada pemukiman-pemukiman di wilayah pantai sepanjang Zambezi. Menurut Eduardo do Couto Lupi yang dikutip S Von Sicard, dua orang Muslim bernama Musa dan Hassan tiba di pulau Mozambik.
Keduanya datang dari Kilwa dan menjumpai sejumlah Muslim yang telah mendahuluinya. Kedatangan itu disebut mwinyi (muinhe atau monhe dalam bahasa Portugis).
Pada abad ke-13, Samudera Hindia merupakan laut Muslim, karena tingginya lalu lintas Muslim di sana, yang kemudian menjadi pondasi bagi keberadaan permanen Muslim di Mozambik. Di pertengahan abad ke-15, para pedagang Arab dan Swahili membangun serangkaian kesultanan Islam dan komersial yang juga bersifat permanen di sepanjang pantai Mozambik.
Rekaman sejarah mengindikasikan bahwa pada peralihan abad ke-15 M, Sofala -- terletak di selatan kota yang kini bernama Beira -- dipimpin oleh seorang syekh. Sang syekh ditunjuk langsung oleh Sultan Kilwa (sekarang Tanzania). Terbentuknya daerah-daerah kantong (dengan pemimpin yang ditunjuk sultan) menandai dimulainya proses penggabungan Mozambik ke dalam dunia yang lebih luas secara kultural, ekonomi, dan agama.
Pada masa itu, kepulauan Querimba atau Ilhas do Cabo Delgado memiliki bagian penduduk Muslim yang ikut serta dalam pembuatan kain bernama maluane. Kain tersebut dibuat dari sutra dan katun yang ditenun lalu dicelup dalam pewarna lokal.
Penetrasi penting Muslim lainnya adalah saat sebagian mereka berdagang dengan menempuh berbagai rute ke pedalaman dan berkembang di sepanjang Limpopo, Save, dan lembah Rovuma. Pengaruh pesisir pada wilayah-wilayah tersebut ditandai oleh pemakaian kata-kata dari bahasa Swahili seperti fumo (yang berarti ketua), mwene (kepala sub), dan mujoge (pedagang Swahili). Bahkan, praktik Islam seperti khitan juga diterima dengan baik.
Perkenalan dan keberadaan Islam di Mozambik tidak berujung peperangan atau perubahan agama masif di bawah pedang, seperti yang terjadi di bagian tertentu Afrika. Islami diperkenalkan melalui perdagangan dan interaksi damai antara orang-orang Arab dengan masyarakat lokal. Meski sesekali terjadi ketegangan dengan penjajah Portugis, Islam dapat hidup berdampingan dengan agama-agama tradisional seperti Kristen tanpa konflik yang berarti.
Von Sicard menyebutkan, berdasarkan laporan tahun 1789 Muslim yang menempuh perjalanan dari Angoche rajin menyebarkan keyakinan mereka. Abad ke-19 menjadi sebuah periode kebangkitan dan jihad yang tertolong oleh meningkatnya kontak melalui Samudera Hindia dan rute dagang menuju Afrika Tengah. Pada awal abad tersebut, diperkirakan telah terdapat sekitar 20 ribu Muslim di pedalaman pesisir Pulau Mozambik.
***
Islam menghadapi tantangan serius di Mozambik selama era kolonial. Sepanjang periode Estado Novo atau Portugal (1926-1974), Roman Katolik menjadi agama dominan yang dimungkinkan oleh aliansi resmi antara gereja dengan pemerintah. Baru pada permulaan Perang Pembebasan, negara menurunkan level penentangannya pada Islam. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan aliansi antara Muslim dengan gerakan pembangkang.
Lalu, alih-alih menjadi alasan bersuka cita, kemerdekaan Mozambik pada 1975 justru berbuntut kondisi yang menyedihkan bagi umat beragama di sana. Hal itu dikarenakan partai pemenang yang berkuasa sejak Mozambik merdeka, dikenal dengan Frelimo, menerapkan konsep-konsep Marxis sepanjang Perang Pembebasan.
Setelah merdeka, pemerintah menyatakan Mozambik sebagai negara sekuler. Penetapan itu dibarengi dengan nasionalisasi seluruh sekolah dan fasilitas kesehatan. Pemerintah bahkan kemudian mengambil alih dan menjalankan sekolah-sekolah tersebut melalui institusi-institusi agama.
Menerima resistensi dari masyarakat yang berontak, negara baru itu berang. Mereka memenjarakan beberapa pendeta pada 1975 dan 1976 serta mengusir seluruh saksi Yehuwa ke sebuah distrik di Zambezia pada 1977.
Semua itu menjadi bagian dari kampanye antiagama yang berlangsung hingga 1982, dan menyerang semua agama yang ada di Mozambik. Islam kala itu menjadi pihak yang paling menderita, dikarenakan Frelimo menyebarkan prasangka dan tuduhan tentang Islam.
Kampanye anti-agama tersebut baru berakhir secara resmi saat partai berkuasa mengadakan pertemuan dengan seluruh insitusi agama. Pada kesempatan itu, mereka mengatakan kesalahan telah terjadi dan kesatuan nasional harus diberlakukan. Meski kontrol negara terhadap institusi agama tetap berlanjut setelah 1982, penyerangan negara terhadap kepercayaan warganya berakhir pada waktu itu.
Von Sicard berkesimpulan, meski Islam memiliki sejarah yang panjang dan prestisius di Mozambik, perkembangannya dihancurkan oleh ketiga periode tersebut. Yakni, periode koloni, perjuangan mencapai kemerdekaan, dan bahkan oleh periode kemerdekaan.
Pada akhir periode sosialis -- yang dimulai 1989 -- barulah Muslim lebih leluasa dan membangun masjid-masjid baru. Mereka juga merintis jalan menuju perlemen sejak itu. Beberapa badan Muslim Afrika Selatan, Kuwait, dan lainnya mulai aktif, termasuk satu di antara yang terpenting, yakni Badan Muslim Afrika.
Sebuah universitas Islam dibangun di Nampula. Dan kini, negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia itu aktif sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (Organisation of Islamic Cooperation/OIC).