Selasa 03 Apr 2012 20:53 WIB

Muslim Australia Bantah Kawin Paksa Tradisi Islam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Chairul Akhmad
Remaja Muslimah di Australia.
Foto: mccsa.org.au
Remaja Muslimah di Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA – Pemerintah Australia kembali membuat gerah komunitas Muslim. Kali ini, pemerintah Australia berupaya memperkuat hukum pidana terkait masalah kawin paksa.

Cendikiawan Muslim Australia, Tariq Syed Abdullah, menilai aturan itu bertentangan dengan akar budaya dan tradisi Islam. "Saya pikir, sangat penting untuk tidak generalisir budaya tertentu dengan ajaran Islam," komentar dia seperti dikutip onislam.net, Selasa (3/4).

Preziden Islamic Center Al-Ghazali, Afroz Ali, menegaskan Islam menentang pernikahan secara paksa. "Anda perlu sadari ketika seseorang dipaksa menikah dengan orang lain, maka ia akan keluar dari sisilah keluarga. Dalam beberapa kasus, potensi terjadi tindak kriminal seperti kematian dan pembunuhan cukup besar," paparnya.

Tariq menambahkan, perkawinan paksa adalah praktek budaya yang banyak diterapkan di berbagai negara Asia, terlepas dari agama tertentu. "Isu macam ini dapat ditemukan di Pakistan dan India, bahkan Iran dan Cina," ujarnya.

Namun, kata dia, penting untuk tidak mencampuradukkan masalah budaya dengan nilai-nilai Islam. Sebab, ada semacam pemahaman Islam membenarkan hal itu.

Jaksa Agung Nicola Roxon, Senin (2/3), mengatakan aturan itu akan membuat seseorang terpaksa menikah secara ilegal. Menurutnya, sulit untuk mengetahui berapa banyak perempuan muda tengah menghadapi situasi ini karena informasinya sungguh terbatas.

"Paksaan, kekerasan dan intimidasi bukanlah alasan yang dapat diterima guna mendapatkan persetujuan seorang perempuan muda untuk menikah. Hal ini tentu akan menjadi bagian dari UU kejahatan yang berhubungan dengan perdagangan, kejahatan seksual dan lainnya," ucapnya.

Sebelumnya, sebuah poling di Prancis menyebutkan kebanyakan Muslim yang melakukan poligami karena kawin paksa. Namun, mayoritas dari responden mengatakan kondisi itu dikarenakan mereka dalam posisi yang menentang seks pranikah.

Selain itu, mayoritas juga mengatakan mereka tidak akan menikah dengan yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. "Dalam kelaziman dan moralitas seksual Muslim di Prancis, mereka terombang-ambing antara tradisi dan modernitas," demikian kesimpulan yang diperoleh dari jajak pendapat yang dilakukan perusahaan Ifop.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement