Kamis 26 Jan 2012 20:01 WIB

Warga NU Diharapkan Membangkitkan Kembali Spirit Nahdlatut Tujjar

Rep: Fernan Rahadi/ Red: Chairul Akhmad
Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Nahdlatut Tujjar atau kebangkitan kaum saudagar merupakan salah satu organisasi embrional NU yang dibentuk sebagai upaya perlawanan sekaligus pemberdayaan rakyat.

Organisasi tersebut saat itu menerapkan manajemen organisasi ekonomi profesional dengan struktur dan pembagian tertata rapi.

 

Ketua Umum PBNU, KH Said Agil Siradj, meminta masyarakat NU tidak perlu meratapi masa keemasan masa lampau, di mana saat itu Nahdlatut Tujjar berjaya. "Yang kita perlukan adalah spirit Nahdlatut Tujjar yang tak boleh padam," kata Said saat berpidato pada acara Peresmian Rembug Nasional Saudagar Nahdatul Ulama (NU) Expo Tahun 2012 di Surabaya, Kamis (26/1).

 

Said menceritakan, Nahdatut Tujjar telah menerapkan konsep investasi usaha yang kini lebih dikenal dengan istilah profit share. Pembagian keuntungan sebesar 50 persen disepakati bersama. Keuntungan boleh dikembalikan untuk memperkuat modal.

 

"Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan sekadar untuk membangun fondasi perekonomian kaum santri, melainkan mempertahankan tradisi perdagangan yang sudah ada sejak kolonialisme mencengkeram negeri ini," kata Said.

 

Semangat berwirausaha, kata Said, telah dicontohkan Nabi Muhammad. "Saya ingin mengatakan, jika umat Islam dalam menjalankan keislaman sepenuhnya meneladani, meniru, dan mengikuti Nabi, bukankah menjadi wirausaha yang baik adalah juga bernilai ibadah?" ujarnya.

 

Said mengakui masih banyak warga NU yang keliru memahami pentingnya bekerja. Banyak orang yang mengidentikkan mencari uang dengan kerakusan. Prasangka buruk ini muncul karena masih ada sekelompok orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. "Mencari uang tidak buruk, yang buruk adalah jika uang didapat dengan cara-cara di luar kewajaran," katanya.

 

Said menyatakan bersyukur NU Expo kali ini digelar di Surabaya. Sejak awal abad ke-17, kota ini telah dikenal sebagai kota perdagangan yang ramai dan kota pelabuhan yang multi etnis. Baru pada kisaran abad 20, sekitar 45 saudagar santri di tiga jalur strategis Surabaya-Kediri-Jombang menyadari Kolonialisme Belanda telah sedemikian eksploitatif, sehingga merontokkan tradisi perniagaan kaum pribumi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement